Selasa, 25 Januari 2011

Aliran Liberal


ALIRAN-ALIRAN DALAM ISLAM

Agama adalah persoalan keyakinan yang tidak bisa dipaksakan kepada seseorang. Keimanan adalah masalah “hidayah” yang tak boleh dipaksakan. Karena itu, bagi Djohan Effendi, semua manusia dituntut untuk bersikap toleran, bukan hanya kepada pemeluk agama lain, tapi juga kepada orang yang tidak meyakini agama [1]. Dalam masalah agama, tidak diijinkan untuk memaksakan apa yang menurut pendapat kita itu benar, karena semua orang mempunyai hak untuk menyampaikan pendapatnya, baik itu pendapat akan diterima oleh masyarakat ataupun tidak, akan tetapi setiap manusia wajib memberikan kesempatan berbicara kepada yang lain.
Keyakinan yang kita imani ini merupakan hal yang tidak selayaknya untuk dipaksakan kepada orang lain. Islam merupakan agama yang benar-benar agama dari Allah SWT. Allah SWT tidak mengajarkan manusia untuk memaksakan keyakinan kepada orang lain.
Sesuai hadist Rasulullah SAW, dari Abu Hurairah ra., ia berkata: “Rasulullah SAW telah bersabda, ‘Kaum Yahudi telah terpecah menjadi 71 atau 72 golongan, dan kaum Nasrani telah terpecah menjadi 71 atau 72 golongan, dan ummatku akan terpecah menjadi 73 golongan”. Sudah diceritakan bahwa umat Islam sendiri akan terpecah menjadi 73 golongan yang ada disegala belahan dunia ini dan berbagai macam pandangan tentang Islam, salah satunya yaitu Mu’tazilah, Asy’ariyyah, Qadariyah, Jabariyah, Sifatiyah, Syafi’iyyah, Hanafiyah, dan lain-lain, dimasa modern, sesuai dengan konteks nomenklatur dan neologi yang beredar, aliran-aliran pemikiran Islam kemudian terpecah menjadi Tradisionalis, Modernis, Neomodernis, Postmodernis, Revivalis, Neorevivalis, dan nama-nama lain yang mewakili setiap kecenderungan pemikiran dalam Islam.
Dengan perkembangan arus modernisasi dan perkembangan ke arus kebebasan dalam menyampaikan pemikiran membawa intelektual-intelektual Islam mebahas tentang adanya aliran Liberal yang ada saat ini. Para intelektual muslim liberal itu, yakni perasaan dan semangat untuk membebaskan (liberating) umat Islam dari belenggu keterbelakangan dan kejumudan sejak –paling tidak—lima abad terakhir. Belenggu inilah yang dianggap sebagai sebab utama ketakberdayaan bangsa-bangsa muslim di depan bangsa asing (kolonialisme) [2]. Sehingga bangsa asing lebih memandang rendah bangsa-bangsa muslim dengan cara-cara yang menurut mereka efektif untuk merendahkan dan memecah belah bangsa muslim.
Para intelektual liberal, sejak awal kebangkitan, telah menuntaskan persoalan ini dengan menyatakan bahwa bentuk negara adalah sesuatu yang didiamkan oleh syariah (silent sharia). Karena didiamkan, maka menjadi hak dan tugas manusialah untuk mencarikan bentuknya. Diantara intelektual yang berbicara tentang masalah ini adalah Ali Abd al-Raziq[3] dimasa silam atau Nurcholish Madjid[4] di masa sekarang. Dalam persoalan menyangkut hak-hak kaum perempuan, pandangan konservatisme mendukung sikap fundamentalisme. Kaum perempuan selalu dipandang sebagai makhluk nomor dua yang tak banyak bisa diandalkan. Kalangan konservatif dan sebagian besar kaum fundamentalis menganggap perempuan hanya separuh harga laki-laki, baik dalam hal ekonomi (warisan), hukum (kesaksian), politik (tak boleh jadi pemimpin), dan hak-hak individu (harus selalu lewat laki-laki). Kendati banyak sekali ajaran-ajaran Islam yang secara eksplisit maupun implisit menghormati kedudukan kaum perempuan, kaum konservatif dan fundamentalis agaknya lebih suka meletakkan kaum wanita di belakang kaum laki-laki, baik dalam pengertiannya yang harafiah maupun takwiliyah.






ISLAM LIBERAL
            "Liberal" berasal dari kata Latin 'liber' yang artinya "bebas" atau merdeka", bandingkan dengan kata 'liberty', "kemerdekaan". Liberalis adalah mereka yang "bebas" dalam berpendirian. Dalam kekristenan, kalangan liberal adalah mereka yang "bebas" dari otoritas tertentu. Anda tentu tahu bahwa ada beberapa jenis otoritas dalam kekristenan, di antaranya otoritas gereja dan otoritas Alkitab. Kalangan liberal ingin bebas dari otoritas gereja, ingin bebas dari otoritas Alkitab.
Akar dari teologi liberal (juga disebut sebagai modernisme) dapat ditelusuri sampai ke Jerman pada abad kedelapan belas, Immanuel Kant (1724-1804) biasanya dipertimbangkan sebagai bapak dari religius liberalisme modern, Kant menyangkali bukti-bukti dari eksistensi Allah, dan mempertahankan bahwa manusia hanya dapat mengetahui Allah melalui penalaran, Pendekatan ini merupakan hasil dari Pencerahan, yang memandang tradisi dan otoritas Alkitab dengan kecurigaan dan mengklaim jasa dari penalaran, Friedrich Schleiermacher (1768-1834) membawa gambaran baru pada teologi melalui penekanannya pada "perasaan" dalam agama Schleiermacher berusaha untuk membuat teologi cocok dengan pikiran modern, la mengajarkan bahwa agama tidak dapat diidentifikasi dengan kredo-kredo, melainkan dengan ekspresi dari perasaan, baik itu ekspresi seni, literatur atau yang lain, Schleiermacher mendefinisikan agama sebagai "perasaan dari kebergantungan yang absolut". Sebaliknya, ia mengidentifikasikan dosa sebagai keegoisan yang menguasai seseorang akan dunia ini, George Hegel (1770-1831) membawa pemikiran liberal ke arah lain, Hegel membawa konsep evolusi ke dalam sejarah (dan agama) pada waktu ia mengajarkan bahwa sejarah adalah pertemuan dari gerakan-gerakan yang berlawanan (tesis-antitesis) dengan percampuran dari keduanya (sintesis), Banyak orang merasakan bahwa filsafat Hegelian sangat dipengaruhi oleh Ferdinand C, Baur (1792-1860) dan Julius Wellhausen (1844-1918) di dalam hal studi kritis terhadap Alkitab. Maka, lahirlah higher criticism, dimana pandangan tradisional tentang penulis kitab-kitab di Alkitab dipertanyakan.
Islam Liberal atau JIL (Jaringan Islam Liberal) adalah kemasan baru dari kelompok lama yang orang-orangnya dikenal nyeleneh. Kelompok nyeleneh itu setelah berhasil memposisikan orang-orangnya dalam jajaran yang mereka sebut pembaharu atau modernis, kini melangkah lagi dengan kemasan barunya. Mula-mula yang mereka tempuh adalah mengacaukan istilah. Mendiang Dr Harun Nasution direktur Pasca Sarjana IAIN (Institut Agama Islam Negeri) Jakarta berhasil mengelabui para mahasiswa perguruan tinggi Islam di Indonesia, dengan cara mengacaukan istilah. Yaitu memposisikan orang-orang yang nyeleneh sebagai pembaharu. Di antaranya Rifa'at At-Thahthawi (orang Mesir alumni Paris yang menghalalkan dansa-dansi laki perempuan campur aduk) oleh Harun Nasution diangkat-angkat sebagai pembaharu dan bahkan dibilang sebagai pembuka pintu ijtihad. Hingga posisi penyebar faham menyeleweng itu justru didudukkan sebagai pembaharu atau modernis (padahal penyeleweng agama). Dengan berkembangnya aliran liberal ini, banyak kelompok-kelompok yang mengatasnamakan Islam sebagai tameng untuk berjihad.
            Akibatnya, dikesankanlah bahwa posisi Rifa'at At-Thahthawi itu sejajar dengan Muhammad bin Abdul Wahab pemurni ajaran Islam di Saudi Arabia. Padahal hakekatnya adalah dua sosok yang berlawanan. Yang satu mengotori pemahaman Islam, yang satunya memurnikan pemahaman Islam. Pemutar balikan fakta dan istilah itu disebarkan Harun Nasution secara resmi di IAIN dan perguruan tinggi Islam se-Indonesia lewat buku-bukunya, di antaranya yang berjudul Pembaharuan dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan, terbit sejak 1975. Pengacauan istilah itu dilanjutkan pula oleh tokoh utama JIL yakni Nurcholish Madjid. Dia menggunakan cara-cara Darmogandul dan Gatoloco, yaitu sosok penentang dan penolak syari'at Islam di Jawa yang memakai cara: Mengembalikan istilah kepada bahasa, lalu diselewengkan pengertiannya. Darmogandul dan Gatoloco itu menempuh jalan Mengembalikan istilah kepada bahasa, kemudian bahasa itu diberi makna semaunya, lalu dari makna bikinannya itu dijadikan hujjah/ argumen untuk menolak syari'at Islam. Dengan begitu, maka Darmogandul dan Gatoloco akan lebih mudah mengacaukan syari’at Islam yang sudah ada. Dan memudahkannya untuk menjerumuskan umat muslim yang hanya mengetahui setengah-setengah.
FAHAM JIL
JIL berawal dari kongko-kongko antara Ulil Abshar Abdalla (Lakpesdam NU), Ahmad Sahal (Jurnal Kalam), dan Goenawan Mohamad (ISAI) di Jalan Utan Kayu 68 H, Jakarta Timur, Februari 2001. Tempat ini kemudian menjadi markas JIL. Para pemikir muda lain, seperti Lutfi Asyyaukani, Ihsan Ali Fauzi, Hamid Basyaib, dan Saiful Mujani, menyusul bergabung. Dalam perkembangannya, Ulil disepakati sebagai koordinator. Gelora JIL banyak diprakarsai anak muda, usia 20-35-an tahun. Mereka umumnya para mahasiswa, kolomnis, peneliti, atau jurnalis. Tujuan utamanya: menyebarkan gagasan Islam liberal seluas-luasnya. "Untuk itu kami memilih bentuk jaringan, bukan organisasi kemasyarakatan, maupun partai politik," tulis situs islamlib.com. Lebih jauh tentang gagasan JIL lihat: Manifesto Jaringan Islam Liberal.
JIL mendaftar 28 kontributor domestik dan luar negeri sebagai "juru kampanye" Islam liberal. Mulai Nurcholish Madjid, Djohan Effendi, Jalaluddin Rakhmat, Said Agiel Siradj, Azyumardi Azra, Masdar F. Mas'udi, sampai Komaruddin Hidayat. Di antara kontributor mancanegaranya: Asghar Ali Engineer (India), Abdullahi Ahmed an-Na'im (Sudan), Mohammed Arkoun (Prancis), dan Abdallah Laroui (Maroko).
Jaringan ini menyediakan pentas berupa koran, radio, buku, booklet, dan website bagi kontributor untuk mengungkapkan pandangannya pada publik. Kegiatan pertamanya: diskusi maya (milis). Lalu sejak 25 Juni 2001, JIL mengisi rubrik Kajian Utan Kayu di Jawa Pos Minggu, yang juga dimuat 40-an koran segrup. Isinya artikel dan wawancara seputar perspektif Islam liberal. Tiap Kamis sore, JIL menyiarkan wawancara langsung dan diskusi interaktif dengan para kontributornya, lewat radio 68H dan 15 radio jaringannya. Tema kajiannya berada dalam lingkup agama dan demokrasi. Misalnya jihad, penerapan syariat Islam, tafsir kritis, keadilan gender, jilbab, atau negara sekuler. Perspektif yang disampaikan berujung pada tesis bahwa Islam selaras dengan demokrasi.
Dalam situs islamlib.com dinyatakan, lahirnya JIL sebagai respons atas bangkitnya "ekstremisme" dan "fundamentalisme" agama di Indonesia. Seperti munculnya kelompok militan Islam, perusakan gereja, lahirnya sejumlah media penyuara aspirasi "Islam militan", serta penggunaan istilah "jihad" sebagai dalil kekerasan.
JIL tak hanya terang-terangan menetapkan musuh pemikirannya, juga lugas mengungkapkan ide-ide "gila"-nya. Gaya kampanyenya menggebrak, menyalak-nyalak, dan provokatif. Akumulasi gaya ini memuncak pada artikel kontroversial Ulil di Kompas yang dituding FUUI telah menghina lima pihak sekaligus: Allah, Nabi Muhammad, Islam, ulama, dan umat Islam. "Tulisan saya sengaja provokatif, karena saya berhadapan dengan audiens yang juga provokatif," kata Ulil.
"Kita tidak perlu menghiraukan nomenklatur. Tetapi jika sebuah nama harus diberikan padanya, marilah kita sebut itu 'Islam liberal' [5].” Perkenalan istilah "Islam liberal" di Tanah Air terbantu oleh peredaran buku Islamic Liberalism (Chicago, 1988) karya Leonard Binder dan Liberal Islam: A Source Book (Oxford, 1998) hasil editan Charles Kurzman. Terjemahan buku Kurzman diterbitkan Paramadina Jakarta, Juni 2001. Versi Indonesia buku Binder dicetak Pustaka Pelajar Yogyakarta, November 2001. Sebelum itu, Paramadina menerjemahkan disertasi Greg Barton di Universitas Monash, berjudul Gagasan Islam Liberal di Indonesia, April 1999. Namun, dari ketiga buku ini, tampaknya buku Kurzman yang paling serius melacak akar, membuat peta, dan menyusun alat ukur Islam liberal. Para aktivis Jaringan Islam Liberal (JIL) juga lebih sering merujuk karya Kurzman ketimbang yang lain.
Kurzman sendiri meminjam istilah itu dari Asaf 'Ali Asghar Fyzee, intelektual muslim India. Fyzee orang pertama yang menggunakan istilah "Islam liberal" dan "Islam Protestan" untuk merujuk kecenderungan tertentu dalam Islam. Yakni Islam yang nonortodoks; Islam yang kompatibel terhadap perubahan zaman; dan Islam yang berorientasi masa depan, bukan masa silam.
"Liberal" dalam istilah itu, menurut Luthfi Assyaukanie, ideolog JIL, harus dibedakan dengan liberalisme Barat. Istilah tersebut hanya nomenklatur (tata kata) untuk memudahkan merujuk kecenderungan pemikiran Islam modern yang kritis, progresif, dan dinamis. Dalam pengertian ini, "Islam liberal" bukan hal baru. "Fondasinya telah ada sejak awal abad ke-19, ketika gerakan kebangkitan dan pembaruan Islam dimulai," tulis Luthfi.
Periode liberasi itu oleh Albert Hourani (1983) disebut dengan "liberal age" (1798-1939). "Liberal" di sana bermakna ganda. Satu sisi berarti liberasi (pembebasan) kaum muslim dari kolonialisme yang saat itu menguasai hampir seluruh dunia Islam. Sisi lain berarti liberasi kaum muslim dari cara berpikir dan berperilaku keberagamaan yang menghambat kemajuan.
Luthfi menunjuk Muhammad Abduh (1849-1905) sebagai figur penting gerakan libaral pada awal abad ke-19. Hassan Hanafi, pemikir Mesir kontemporer, menyetarakan Abduh dengan Hegel dalam tradisi filsafat Barat. Seperti Hegel, Abduh melahirkan murid-murid yang terbagi dalam dua sayap besar: kanan (konservatif) dan kiri (liberal).
JIL itu menyebarkan faham yang menjurus kepada pemurtadan. Yaitu sekulerisme, inklusifisme, dan pluralisme agama. Sekulerisme adalah faham yang menganggap bahwa agama itu tidak ada urusan dengan dunia, negara dan sebagainya. Inklusifisme adalah faham yang menganggap agama kita dan agama orang lain itu posisinya sama, saling mengisi, mungkin agama kita salah, agama lain benar, jadi saling mengisi. Tidak boleh mengakui bahwa agama kita saja yang benar. (Ini saja sudah merupakan faham pemurtadan). Lebih-lebih lagi faham pluralisme, yaitu menganggap semua agama itu sejajar, paralel, prinsipnya sama, hanya beda teknis. Dan kita tidak boleh memandang agama orang lain dengan memakai agama yang kita peluk [6]. Jadi faham yang disebarkan oleh JIL itu adalah agama syetan, yaitu menyamakan agama yang syirik dengan yang Tauhid.
Tampaknya orang-orang yang pikirannya kacau dan membuat kekacauan agama seperti itu adalah yang telah merasakan celupan dari pendeta, atau Yahudi, atau Barat, atau yang dari awalnya bergaul di lingkungan faham sesat Ahmadiyah dan sebagainya atau di lingkungan ahli bid'ah. Berikut ini contoh nyata, Ahmad Wahib yang mengaku sekian tahun diasuh oleh pendeta dan Romo. Kemudian fahamnya yang memurtadkan pun disebarkan oleh Johan Effendi, tokoh JIL yang jelas-jelas anggota resmi aliran sesat Ahmadiyah. Di antara fahamnya sebagai berikut: Ahmad Wahib Menafikan Al-Qur'an dan Hadits sebagai Dasar Islam
Setelah Ahmad Wahib berbicara tentang Allah dan Rasul-Nya dengan dugaan-dugaan, "menurut saya" atau "saya pikir", tanpa dilandasi dalil sama sekali, lalu di bagian lain, dalam Catatan Harian Ahmad Wahib ia mencoba menafikan Al-Qur'an dan Hadits sebagai dasar Islam. Dia ungkapkan sebagai berikut:
Kutipan: " Menurut saya sumber-sumber pokok untuk mengetahui Islam atau katakanlah bahan-bahan dasar ajaran Islam, bukanlah Qur'an dan Hadits melainkan Sejarah Muhammad. Bunyi Qur'an dan Hadits adalah sebagian dari sumber sejarah dari sejarah Muhammad yang berupa kata-kata yang dikeluarkan Muhammad itu sendiri. Sumber sejarah yang lain dari Sejarah Muhammad ialah: struktur masyarakat, pola pemerintahannya, hubungan luar negerinya, adat istiadatnya, iklimnya, pribadi Muhammad, pribadi sahabat-sahabatnya dan lain-lainnya [7]."

Ungkapan tersebut mengandung pernyataan yang aneka macam.
§  Menduga-duga bahwa bahan-bahan dasar ajaran Islam bukanlah Al-Quran dan Hadits Nabi saw. Ini menafikan Al-Quran dan Hadits sebagai dasar Islam.
§  Al-Qur'an dan Hadits adalah kata-kata yang dikeluarkan oleh Muhammad itu sendiri. Ini mengandung makna yang rancu, bisa difahami bahwa itu kata-kata Muhammad belaka. Ini berbahaya dan menyesatkan. Karena Al-Qur'an adalah wahyu dari Allah SWT yang dibawa oleh Malaikat Jibril, disampaikan kepada Nabi Muhammad saw, diturunkan secara berangsur-angsur selama 22 tahun lebih. Jadi Al-Qur'an itu Kalamullah, perkataan Allah, bukan sekadar kata-kata yang dikeluarkan Muhammad itu sendiri seperti yang dituduhkan Ahmad Wahib. Allah SWT menantang orang yang ragu-ragu: "Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Al-Qur'an yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), buatlah satu surat (saja) yang semisal Al-Qur'an itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar." (QS Al-Baqarah: 23).
§  Al-Qur'an dan Hadits dia anggap hanya sebagian dari sumber sejarah Muhammad, jadi hanya bagian dari sumber ajaran Islam, yaitu Sejarah Muhammad. Ini akal-akalan Ahmad Wahib ataupun Djohan Effendi, tanpa berlandaskan dalil.
§  Al-Qur'an dan Hadits disejajarkan dengan iklim Arab, adat istiadat Arab dan lain-lain yang nilainya hanya sebagai bagian dari Sejarah Muhammad. Ini menganggap Kalamullah dan wahyu senilai dengan iklim Arab, adat Arab dan sebagainya. Benar-benar pemikiran yang tak bisa membedakan mana emas dan mana tembaga. Siapapun tidak akan menilai berdosa apabila melanggar adat Arab.









MEMAHAMI ISLAM LIBERAL
            Gagasan Islam liberal sampai hari ini mengundang perdebatan karena oleh banyak kalangan dianggap lepas dari pakem pemikiran khas Islam Indonesia dan berkesan kebarat-baratan. Yang lebih tragis, ada asumsi pejoratif terhadap gagasan ini, yaitu dapat berakibat buruk terhadap autentisitas ajaran Islam. Sebenarnya gagasan ini bukanlah gagasan baru karena Leonard Binder telah menulis buku mengenai Islam liberal, 1988. Sepintas memang gagasan ini mengesankan citra negatif, karena istilah liberal, terutama dalam konteks kehidupan agama, telanjur dipahami secara hitam putih, bernada miring, dan mencitrakan pemikiran destruktif Islam. ada yang meyakini gagasan liberal ini adalah cara pandang kalangan agnostik yang ragu terhadap kebenaran otentisitas agama, mendesakralisasikan Tuhan, dan membongkar tatanan formal dan simbolik agama.
Charles Khurzman, Islam liberal justru ditempatkan dalam tataran netral. Yaitu suatu upaya dalam memudahkan membuat pengategorian bahwa ada sekelompok intelektual Islam yang berusaha mengembangkan gagasan keislaman yang bersifat toleran, terbuka, dan progresif dalam merespons isu-isu global[8]. Namun tetap berpegang pada autentisitas Islam dan tidak menaruh kecurigaan terhadap sesuatu yang berasal dari Barat atau di luar Islam lain. Islam liberal juga meyakini sepenuhnya rujukan utama dalam menghadapi dinamika persoalan global umat Islam harus berpegang pada rel syariah Islam.
Pertanyaannya, bagaimana mengimplementasikan syariah versi Islam liberal itu untuk menjawab persoalan global yang begitu cepat?
pertama tipe syariah yang diam. Menurut tipe ini, umat Islam memiliki kebebasan merespons persoalan global karena syariah, terutama yang berhubungan dengan kehidupan publik tidak memberikan bentuk yang rigit dan rinci. Karena itu, Islam dapat mengambil rujukan dari luar Islam.
kedua, syariah yang ditafsirkan. Tipe ini memberikan ruang yang luas pada ranah nalar dan tafsir kontekstual terhadap doktrin Islam agar dapat berselaras dengan perubahan zaman. Cara pandang seperti ini biasanya menggunakan pendekatan hermeunitik, terutama ditujukan dalam menegasikan cara tafsir tradisional yang lebih ortodoks dan eksklusif menuju tafsir-tafsir doktrin Islam yang inklusif dan menjauhkan pembiasan makna Islam fundamental. Islam seperti ini diharapkan menjadi Islam yang dapat memberikan pesan moral dan menempatkan substansi syariah. Yaitu berpihak pada keadilan dan menolong yang lemah dan papa.
ketiga, syariah liberal. Menurut tipe ini, sebenarnya syariah sejak awal bersifat liberal jika dipahami secara tepat. Watak liberal ini, selain melekat pada Alquran, juga terevidensi secara sempurna dalam historis Islam. Karena itu, sebenarnya Islam telah menyediakan argumen amat autentik dalam merespons persoalan-persoalan global yang dihadapi umat Islam.
            "Pada akhir zaman, akan muncul sekelompok anak muda usia yang bodoh akalnya.
Mereka berkata menggunakan firman Allah, padahal mereka telah keluar dari Islam, bagai keluarnya anak panah dari busurnya. Iman mereka tak melewati tenggorokan. Di mana pun kalian jumpai mereka, bunuhlah mereka. Orang yang membunuh mereka akan mendapat pahala di hari kiamat[9]."











TOKOH-TOKOH LIBERAL
Tokoh-tokoh Jaringan Islam Liberal atau berfaham Islam Liberal / Sekuler / Pluralisme :
1.      Prof. Dr. Nurcholish Madjid ( Cak-Nur ) , Pimpinan Universitas Paramadina Mulya JKT  (sudah mampus, mayatnya menghitam …. mungkin kutukan Allah atau sekedar akibat  penyakit, wallahualam …)
2.      Dr. Azyumardi Azra , IAIN syarif hidayatullah JKT
3.      Abdallah Laroui , University Muhammad V , Maroko
4.      Masdar F Mas'udi , Pusat Perkembangan Pesantren dan masyarakat JKT
5.      Goenawan Muhammad , Redaktur Majalah Tempo , JKT
6.      Ir. Djohan Effendi , Deakin University , AUS
7.      Abdullah Ahmad an-Naim , University of Khartoum , SUDAN
8.      Jalaluddin Rahmat , yayasan Muthahhari Bandung .
9.      Nasaruddin Umar , IAIN syarif hidayatullah JKT
10.  Komaruddin Hidayat , yayasan paramadina JKT
11.  Said Agil Sirajh Sag  , PBNU JKT .( pernah jadi pejabat RI - MENAG )
12.  Denny JA , Universitas jayabaya JKT
13.  Rizal Mallarangeng , CSIS JKT Aktif di Politik .
14.  Ulil Abshar Abdalla , Lakpesdam NU , JKT ( Tokoh muda dari NU yg banyak nulis di koran2 ) , Koordinator JIL .
15.  Ade Armando , Universitas Indonesia , DEPOK JKT
16.  Syamsurizal Panggabean , Universitas Gajah Mada ( UGM ) , Jogjakarta .
17.  Munawir Sadzalli , Mantan MENAG RI .
18.  Charles Kurzman , University of North Carolina .
19.  Edward Said
20.  Asghar Ali engineer .
21.  Sadeq Jalal Azam , Damascus University , Suriah
22.  Budi Munawar rahman , Yayasan Paramadina JKT
23.  Ihsan Ali Fauzi , Ohio University AS
24.  Taufiq Adnan Amal , IAIN Alauddin Ujung Pandang .
25.  Hamid Basyaib , Yayasan aksara , JKT
26.  Luthfi Assyaukanie , Paramadina JKT
27.  Syaiful Mujani , Ohio State University AS
28.  Dr Siti Musdah Mulia ( pencetus Tim pengerasutamaan gender - Draft Kompilasi Hukum Islam )
29.  Ahmad Gaus AF
30.  Frans Magnis Suseno
31.  Ignas Kleden
32.  Syafi'i Anwar
33.  Adnan Kresna
34.  Dawam rahardjo ( Tokoh Utama - awal-awal munculnya faham Islam liberal )
35.  Johan effendi ( Tokoh Utama - awal-awal munculnya faham Islam liberal )
36.  Ahmad Wahid ( Tokoh Utama - awal-awal munculnya faham Islam liberal )
37.  dll 
( Sumber : " Aliran & Paham Sesat di Indonesia " , Ust Hartono Ahmad Jaiz  , Cet 1  Peb 2002 , Pustaka Al-Kautsar , hal : 235-236
" Tasawuf , Pluralisme dan Pemurtadan , Ust Hartono Ahmad Jaiz   , Pustaka Al-Kautsar , Sabili No . 20 thn XII . www.hidayatullah.com )


[1] Lihat wawancara
selengkapnya dengan Djohan Effendi “Harus Ada Kebabasan Untuk Tidak Beragama
di website Islam Liberal (http://www.islamlib.com/wawancara/masjohan.html).
[2] Oleh Luthfi Assyaukanie
[3] karya monumentalnya al-Islam wa Ushul al-Hukm: Ba’ts fi al-Khilafah wa al-Hukumah fi al-Islam (Islam
dan dasar-dasar pemerintahan: Kajian tentang khilafah dan pemerintahan dalam
Islam). Cetakan pertama, Cairo, 1342/1925.
[4] surat-surat Nurcholish Madjid dengan Mohamad Roem yang telah dibukukan, Tidak Ada Negara Islam: Surat-Surat Politik Nurcholish Madjid-Mohamad Roem, Jakarta Penerbit Djambatan, 1997.
[5] Asaf 'Ali Asghar Fyzee [India, 1899-1981
[6] Ini sudah lebih jauh lagi pemurtadannya
[7] Catatan Harian Ahmad Wahib, hal 110, tertanggal 17 April 1970
[8] Dari Suara Merdeka, 31 Mei 2002
[9] Bahaya Islam Liberal. Buku saku setebal 100 halaman itu ditulis Hartono Ahmad Jaiz, 50 tahun, seorang mantan wartawan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar