Selasa, 25 Januari 2011

MAKALAH


KEINDONESIAAN YANG HILANG


PENDAHULUAN

            Dari masa ke masa Negeri ini mengalami kegoncangan yang bermacam-macam alasan, dari aspek Budaya, Ekonomi, Politik, Sosial dan Alam yang bergejolak. Budaya di Negeri ini sangat banyak dan berbagai macam ragam yang membuat bangsa ini kaya akan budaya. Setiap budaya yang ada di Negeri ini belum semuanya diketahui oleh bangsa Indonesia sendiri. Bangsa ini lebih mencintai budaya luar, padahal budaya Negeri ini lebih beragam dan unik.
            Ekonomi Negeri ini juga sangat memprihatinkan dengan banyaknya pengangguran dan kemiskinan yang tiada hentinya, membuat beban pemerintahan dalam menuntaskan kemiskinan, pemerintah juga sudah berusaha dengan berbagai macam cara untuk menuntaskan kemiskinan di Negeri ini. Dengan jumlah hutang yang tidak sedikit, pemerintah juga berusaha melunasi hutang-hutang Negara. Hutang Negara sudah dibayar setiap tahunnya, tetapi karena banyaknya jumlah hutang yang ditanggung oleh Negara sangat tidak mungkin untuk langsung dilunasi. Keadaan Ekonomi di Negeri ini pun masih sangat kurang dari standar, dengan jumlah warga yang lebih dari 2 juta jiwa, membuat pemerintah dituntut untuk bisa lebih ahli dan tegas dalam meuntaskan kasus kemiskinan di Negeri ini.
            Dengan terciptanya masyarakat yang demokratis, sehingga kebebasan berpendapat sangat pesat perkembangannya. Terutama dalam dunia poitik, dengan menjunjung tinggi kebebasan berpendapat membuat Negeri ini terasa luas dan bebas tanpa ada kekangan dari pemerintah. Tetapi dengan perkembangan politik yang sangat pesat dan banyaknya warga yang kurang sehat dalam berpolitik, sehingga mengakibatkan pertikaian didalam dunia politik yang sangat lembut dari covernya. Banyak kasus lucu setelah pemilu di Negeri ini karena kurangnya kedewasaan para calon legislatif kita. Mulai dari yang ingin bunuh diri, bahkan yang lebih memalukan lagi menarik semua sumbangan yang sudah diberikan karena mereka tidak menang dalam pemilu.
            Kami mendapat banyak kasus dalam makalah ini yang membuat transparan betapa rendahnya sikap Nasionalisme bangsa ini dalam mencintai Negaranya sendiri, dan bangsanya yang mau berubah dan berjuang mengurangi beban pemerintah tidak diberi jalan yang bagus, bahkan tidak ada dukungan dari bangsa kita sendiri. Memilukan bukan, tetapi memang masih begiu keadaan bangsa ini sampai saat ini.


POKOK MASALAH

Beberapa waktu lalu hati bangsa kita tercabik-cabik oleh peristiwa dalam negeri. Mata bangsa kita berlinangan kepiluan ketika hukum menjadi barang langka di negeri ini. Kasus anggodo versus KPK yang memperdengarkan keruang publik oleh MK seakan tak ada lagi hukum. Para pemegang hukum berlindung dibalik kepentingan material semata. Belum kering luka bangsa ini, anak bangsa kembali dikagetkan dengan kasus mega skandal pajak. Gayus Halomoan Tambunan menjadi selebritis dadakan dengan kasus yang melilitnya,hingga kekesalan masyarakat diekspresikan melalui jejaraing sosial menolak pembayaran pajak. Seperti luka yang tersiram air garam,14 April 2010 kilatan cahaya mtahari dari ujung samurai dan belati, darah segar mengalir tiga nyawa pun lepas dari jasadnya. Tragedi mengerikan itu tak lain adalah bentrokan Satpol PP dengan masyarakat di sekitar makam mbah priok koja tanjung priok jakarta utara. Bukan kali itu saja, rupanya kutukan berupa bentrokan  masih membayangi bangsa ini, di berbagi daerah bentrokan-bentrokan terjadi, seolah tak puas dengan tetesan darah di priok kota batam pun menjadi lautan api,tatkala karyawan PT Drydock World Graha mengamuk dan membakar aset perusahaan, tak lama api-api lain pun berkobar di cisarua bogor buntut dari ketidakpuasan warga atas bangun yang ditengarai menyalahi aturan. Kita semua bertanya ada apa dengan negeri ini?
Apakah timbulnya berbagai macam kerusuhan di republik ini berarti kegagalan persatuan? Apakah timbulnya berbagai macam partai politik dan pergesekannya juga kegagalan nasionalisme? Timbulnya niat untuk memisahkan diri dari negara kesatuan ini juga pertanda kegagalan? Bukankah gejala-gejala semacam itu pernah terjadi sejak tahun 1950-an? Merajalelanya isu korupsi sekarang ini juga tidak pernah absen sejak kemerdekaan. Yang jelas, sebagai negara dan bangsa, kesejahteraan umum rakyatnya ketinggalan dibanding dengan Malaysia yang merdeka tahun 1958 dan Korea yang pada tahun 1953 mengalami perang "global". Mungkin memang benar bahwa diam-diam terasa adanya kekhawatiran ancaman perpecahan nasional akibat kasus-kasus SARA yang terus terjadi selama ini. Lalu terasa juga bahwa "persatuan dan kesatuan" Orba yang tampaknya kokoh itu hanya suatu kepalsuanentuk tanpa isi. Persatuan seremonial belaka. Begitu seremoni usai, maka muncullah gejala-gejala yang mengkhawatirkan itu.


PEMBAHASAN

Negeri ini didirikan oleh faunding father dengan prinsip kebersamaan, lebih dari 400 suku bangsa menyatu mencita-citakan satu bangsa, satu bahasa. Seperti yang diungkapkan oleh Benedict anderson dengan immagined Communities. “Menyadarkan arti pentingnya pemahaman menjadi bangsa adalah sebuah konsep dinamis dan menghayati sebagai bangsa yang plural dengan menyulam kembali benang-benang kebersamaan. Sejak  mei 1998 seakan ikatan kebersamaan bangsa ini hilang oleh bara api Reformasi, bangsa ini lupa sebagai bangsa yang dibentuk atas dasar paguyuban bukan patembayan” [1]. Paguyuban yang sangat identik dengan kebersamaan dalam kehidupan bermasyarakat. Tidak ada perbedaan atau tingkatan didalam bermasyarakat, semuanya sama, hanya ada perangkat kepemerintahan, bukan tingkatan karena materi ataupun kasta.
Melihat berbagai fenomena kejahatan di Indonesia, termasuk membudayanya perilaku korupsi, budayawan Emha Ainun Nadjib (Cak Nun) menilai pemimpin Indonesia hingga kini belum memiliki moralitas. “Mulai dari Presiden SBY, menteri, hingga anggota DPR/DPRD nggak mau berubah. Tunggu saja, nanti akan ada yang mengubah,” katanya di Surabaya, Kamis malam. Ia mengemukakan hal itu dalam Buka Bersama dan Shalat Tarawih Keluarga Besar Universitas Airlangga (Unair) Surabaya dengan Cak Nun. Dalam acara bertopik “Excellence with Morality” itu, Cak Nun memberi apresiasi dengan semangat Unair yang mengusung visi dan misi “Excellence with Morality” [2]. Banyaknya pejabat-pejabat di Negeri ini yang belum benar menggunakan kewenangannya dan kurang tepat sasaran dalam memberikan kebijakan kepada warganya, membuat bangsa ini menilai kurang positif kepada pejabat-pejabat tinggi di Negeri ini, bahkan masyarakat di Negeri ini tidak percaya lagi dengan kebijakan-kebijakan pemerintah. Masyarakat lebih percaya dengan warga asing daripada pemerintahannya. Dengan minimnya moral pejabat-pejabat di Negeri ini, akan banyak tindakan-tindakan masyarakat di Negeri ini yang menunjukkan ketidaksetujuan terhadap kebijakan pemerintah. 
            Secara genetik bangsa ini memang terlahir dari keberagaman budaya agama dan ras. Tetapi perbedaan ini justru menjadi benang-benang sulam yang saling menguatkan rajutan bangsa. Namun sekarang kita bertanya apakah bangsa ini telah berubah menjadi bangsa yang bengis? Bentrokan yang menggambarkan jelas watak-watak kebengisan itu adalah hasil yang diciptakan oleh negara itu sendiri, komunikasi dan bahasa kepemimpinan yang salah, centang perenang bangsa muncul akibat distorsi pengelolaan negara yang membahasakan ketidakadilan. Pemerintah membangun kesenjangan antar bangsa dan negara. Bangsa tak lagi mampu berlindung dibalik hukum formal, karena para pelaku hukum justru berada dijeruji materialisme sehingga bangsa bertindak mengambil jalan hukum sendiri untuk lepas dari pasung ketidakadilan.Dalam konsep kenegaraan individu dipertautkan dengan unit politik yang disebut sebagai negara dalam kedudukan yang sederajat didepan hukum. Dengan demikin sudah sepatutnya adanya jalinan keselarasan dan keserasian antara bangsa sebagai  kesatuan individu dengan negara sebagai entitas politik untuk mengakomodasi keragaman bangsa, sehingga bangsa terikat dengan konsensus satu bangsa yang telah dicitakan.
            Kekerasan-kekerasan yang terjadi telah ditransformasikan menjadi masalah bangsa. Terdapat bebrapa hal yang menjelaskan hilangnya keindonesiaan kita. Pertama adalah meredupnya semangat unity pluralitas, keindonesiaan muncul atas refleksi kehendak bersama dengan mengaburkan 400 lebih kepentingan suku untuk mewujudkan kesejahteraan bersama, bukan merupakan kepentingan parsial SARA. Kedua melihat lompatan modernisasi negara seperti jepang dan perancis, modernitas terdorong oleh semangat kebudayaan tidak hanya berbasis pada IPTEK. Sejak Orde baru muncul pendidikan bangsa terfokus pada aspek kehidupan teknologi dan melupakan dimensi moral etik dan pembudayaan, hasilnya adalah adanya kesenjangan budaya. Sehingga memutus ikatan-ikatan  komunal sebagai jatidiri bangsa yang gotong royong dan beradab. Lepasnya ikatan komunal tersebut menumbuhkembangkan egosentris dan penguatan-penguatan kepentingan golongan. Filsuf Imanuel Kant pernah mengingatkan jika suatu negara majemuk masyarakatnya telah mengedepankan kepentingan agama, ras, dan suku maka yang tejadi hanyalah konflik. Ketiga dalam kehidupan bernegara selayaknya didasarkan pada kesepakatan bersama. Adanya hubungan kontrak dan transaksi masyarakat dengan negara yang terbuka dimana kontrak tersebut menjamin adanya keamanan dan keselamatan.
Dewasa ini kondisi ini justru menjadi mahal. Negara hampir tidak memberikan jaminan atas keselamatan dan keamanan kepada rakyatnya. Para pelaku negara lebih banyak mengekspresikan hegemonik negara ketika berhadapan dengan rakyat  terkadang pelaku negara harus melukai rakyatnya sendiri. Keempat selayaknya negara berada dalam koridor tertib politik dengan kepemimpinan hukum yang adil, sehingga mampu menjadi lembaga kontrol bangsa. Konsekwensi logis dari lemahnya kepemimpinan hukum adalah tersublimasikannya konflik-konflik indentitas dengan menggunakan simbol negara. Prasyarat mutlak untuk mengembalikan keindonesiaan pertama kenegaraan sebagai infrastruktur harus meletakan tertib politik dengan mengedepankan hukum sebagai pemimpin yang mampu menjamin keamanan, keselamatan dan kenyamanan warga. Kedua etika moral dan budaya sebagai suprastruktur untuk menyulam kebersamaan dalam keberagaman.
Kebudayaan Indonesia
Indonesia adalah negara yang indah yang kaya akan kekayaan alam dan budaya. Lebih dari 20 suku terdapat di Indonesia dan lebih dari 100 budaya ada di Indonesia. Tetapi, dari tahun ke tahun seiring dengan bertumbuhnya perkembangan gaya hidup dan teknologi, kebudayaan asli indonesia terlihat sangat ketinggalan zaman. Banyak dari warga indonesia yang kurang peduli bahkan ada yang tidak peduli tentang budaya Indonesia. Hal inilah yang menyebabkan banyak budaya Indonesia dicuri oleh negara lain terutama Malaysia. Hal ini karena terlambatnya dalam mematenkan suatu budaya dan benda – benda peninggalan zaman Indonesia dulu. Ketika budaya dan barang kebudayaan atau hasil buah tangan seniman Indonesia masih ada di Indonesia, banyak dari warga merasa budaya tersebut tidak berharga, tetapi ketika ada negara lain akan mengambil budaya tersebut dan kemudian hilang dari kita, barulah mereka merasa itu sangat berharga. Kenapa berharga saat sudah hilang? Kenapa tidak waktu masih ada? Inilah orang-orang Indonesia yang telah terkontaminasi budaya barat. Ada beberapa kebudayaan Asli Indonesia yang telah diambil atau diakui oleh bagsa dan Negara lain, yatu:
No.
Kesenian dan Budaya
Asal
Direbut Oleh
1.
Batik
Jawa
Adidas
2.
Naskah Kuno
Riau
Malaysia
3.
Naskah Kuno
Sumatra Barat
Malaysia
4.
Naskah Kuno
Sulawesi Selatan
Malaysia
5.
Naskah Kuno
Sulawesi Tenggara
Malaysia
6.
Rendang
Sumatra Barat
WN Malaysia
7.
Sambal Bajak
Jawa Tengah
WN Belanda
8.
Sambal Petia
Riau
WN Belanda
9.
Sambal Nanas
Riau
WN Belanda
10.
Tempe
Jawa
Perusahaan Asing
11.
Lagu Rasa Sayang Sayange
Maluku
Malaysia
12.
Tari Reog Ponorogo
Jawa Timur
Malaysia
13.
Tari Soleram
Riau
Malaysia
14.
Lagu Injit – Injit Semut
Jambi
Malaysia
15.
Alat Musik Gamelan
Jawa
Malaysia
16.
Tari Kuda Lumping
Jawa Timur
Malaysia
17.
Tari Piring
Sumatra Barat
Malaysia
18.
Lagu Kakak Tua
Maluku
Malaysia
19.
Lagu Anak Kambing Saya
Nusa Tenggara
Malaysia
20.
Kursi Taman dengan Ornamen Ukir Khas Jepara
Jawa Tengah
WN Perancis
21.
Pigura dengan Ornamen Ukir Khas Jepara
Jawa Tengah
WN Inggris
22.
Motif Batik Parang
Yogyakarta
Malaysia
23.
Desain Kerajinan Perak Desa Suwarti
Bali
WN Amerika
24.
Produk Berbahan Rempah – Rempah dan Tanaman Obat Asli Indonesia

Shiseido Co. Ltd.
                                   
                                                                         Sumber: www.budaya-indonesia.com
“ Benar-benar disayangkan kalau kekayaan budaya nusantara harus jatuh ke tangan negeri lain. Semoga ini mendapatkan perhatian serius dari para pengambil kebijakan.” [3] Itulah kepedulian bangsa kita yang bisa kita dengar. Betapa banyaknya kebudayaan kita ini yang telah diakui oleh bangsa dan Negara lain, bisa kita bayangkan kalau kebudayaan Negeri ini dari waktu ke waktu diakui oleh bangsa lain. Apakah ini seutuhnya kesalahan bangsa? Iya, seluruh bangsa kita salah, tetapi pemerintahlah yang lebih pantas untuk disalahkan, karena yang lebih mengetahui berbagai macam budaya di Negeri ini adalah Pemerintah. Masih banyak bangsa ini yang belum mengetahui banyaknya kebudayaan di Negeri ini, karena pemerintah tidak memberikan informasi yang utuh dari ujung barat sampai ujung timur, apakah pemerintah sendiri belum tahu semua kebudayaan yang ada di Negeri ini?
”Salah satu upaya pelestarian budaya Indonesia adalah dengan membuat dokumentasinya, termasuk dokumentasi digital atau elektronik di era informasi ini. Mungkin peran perguruan tinggi bisa dikedepankan disini. Kegiatan riilnya bisa dalam bentuk penelitian atau pengabdian masyarakat. Yuk kita cintai dan pertahankan budaya Indonesia.” [4] Bangsa ini sangat berbagai macam budaya, tidak sepantasnya bangsa sendiri, tetapi tidak tahu budaya-budayanya. Perlunya keaktifan warga untuk mengetahui dan mencintai budaya Indonesia, tidak hanya menunggu informasi dari pemerintah atau pemerintah mewajibkan warganya utuk mengetahui dan mempelajari kebudayaan bangsa serta menyelami semua kebudayaan bangsa yang banyak da beraneka ragam.
Bhineka Tunggal Ika bukan slogan politik. Nasionalisme tidak bergantung pada mitos saja, tetapi juga harus melihat realita kebhinekaan Indonesia. Dan inilah yang selama ini diabaikan. Indonesia bukan sebuah melting pot [5] budaya seperti disangka orang. Melting pot itu hanya terjadi di kota-kota besar saja. Di kota-kota besar kita terdapat campur aduk penduduk dengan aneka ragam etnik, ras, agama dan golongan-golongan politik. Tetapi beberapa kilometer di luar kota, kita memasuki budaya lokal, dimana jiwa, perasaan dan kebiasaan lokal amat kuat. Gagasan nasionalisme para pendiri republik ini berkembang dalam wacana dan praktik di daerah-daerah melting pot tadi. Tetapi Jambi itu bukan negara bagian Texas, Sumatra Utara itu bukan negara bagian California, dan Jawa itu bukan negara bagian Washington. Negara-negara bagian itu semuanya melting pot hampir merata, yakni ada Negronya, Anglo Saxonnya, Yahudinya, Polandia, dan Italianya. Tetapi Sumatra Utara itu etnik Batak kecuali kota-kota besarnya. Jelaslah, mengadopsi begitu saja metode yang sukses di Amerika, belum tentu berhasil di Indonesia, selama kearifan Bung Hatta kita perhatikan. Karena segala sesuatunya menyangkut manusia yang berjiwa, berperasaan dan beradat kebiasaan yang berbeda-beda.
Kebhinekaan Indonesia itu bukan mitos, tetapi realita yang sekonkret-konkretnya. Pola pikir masyarakat dan budaya Jawa itu berbeda dengan pola pikir masyarakat dan budaya Minang, suku Amungme di Papua, suku Dayak Punan di Kalimantan. Elite pemimpin yang berasal dari wilayah melting pot Indonesia (kota-kota besar dan metropolitan) boleh jadi memandang Indonesia secara melting potnya yang global. Atau elite pemimpin nasional dari budaya lokal tertentu memandang Indonesia berdasarkan jiwa, perasaan dan kebiasaan lokalnya.
Paham lokal tentang kepemimpinan, hak milik, kesatuan wilayah, makna hutan dan gunung, berbeda-beda untuk setiap kelompok etnik. Paham suatu lokal yang diangkat menjadi paham nasional tentu akan mendatangkan masalah bagi lokal-lokal lain yang berbeda pahamnya. Ketersinggungan, ketertekanan, ketidaksenangan, diam-diam dapat mengendap lama di lokal-lokal yang mengalami konflik semacam itu. Di masa keterbukaan, kebebasan, "reformasi" diembuskan, maka ketertekanan itu meledak menjadi pernyataan-pernyataan pemisahan.
Nasionalisme kita selama ini adalah paham nasionalisme kaum melting pot yang bias global dan bias lokal. Ada ketidaksinkronan antara elitee pimpinan atas dengan massa akar rumput yang bhineka tadi. Kaum elitee pimpinan hanya peduli pada "jiwa, perasaan dan kebiasaan" lingkungan melting pot-nya sendiri. Dan kita belum menjadi atau tak mungkin menjadi bangsa yang sepenuhnya sebuah melting pot. Isu sara adalah isu yang kita sembunyi-sembunyikan selama ini. Isu ini kita hindari dan kita takuti, bahkan seolah-olah bukan realita Indonesia. Akibatnya isu ini terus menjelma menjadi kenyataan menyedihkan. Sudah saatnya kita berani menghadapi, melihat, dan memecahkan kenyataan pluralitas konkret ini. Isu sara bukan untuk dihindari, tetapi didekati, bukan untuk ditakuti tetapi dipahami. Dengan pemahaman, kita dapat saling menghargai serta mengambil sikap yang tidak merugikan pihak mana pun.
Nasionalisme baru adalah nasionalisme yang peduli pada kenyataan perbedaan-perbedaan kita yang bagi segi ini. Harus dikembangkan saling memahami antara yang memimpin dan yang dipimpin. Di situlah terdapat nasionalisme-harmoni. Bukan nasionalisme dari atas. Bukan nasionalisme bias lokal. Bukan nasionalisme bias global. Semuanya itu melebur dalam pemahaman, saling menghargai dan menghormati, saling peduli, saling mengubah dan menyesuaikan diri. Nasionalisme itu bukan mitos dan sudah selesai. Nasionalisme itu suatu proses yang menuntut sikap kreatif terus-menerus. Nasionalisme itu bukan sekadar gagasan, tetapi kenyataan. Dan sebagai kenyataan konkret, nasionalisme itu terasakan, teralami, terlihat, dan nyata senyata-nyatanya. Dan sebagai kenyataan ia berproses dan berkembang dalam hukum-hukum kausalitas yang terpahami.

Berapa penting pendidikan untuk warga miskin bagi Negeri ini?
            Banyaknya bangsa ini yang menyatakan putus sekolah dengan alasan tidak mampu membayar biaya sekolah. Bahkan masih banyak yang tidak mengenyam dunia pendidikan dengan alasan “ Daripada sekolah menghabiskan uang dan membebani orangtua, lebih baik saya kerja dapat uang dan bisa membantu orangtua. Sekolah itu mahal, setelah lulus saya belum tentu dapat kerjaan. Contohnya, banyak teman-teman saya yang lulus STM disini, tetapi mereka juga akhirnya kerja disini, jadi kuli batu bersama saya setiap hari ” ungkapan seorang pemuda saat bekerja di Kali Bogowonto mencari batu. Kita tahu betapa mahalnya biaya pendidikan di Negeri ini bagi warga menengah ke bawah.
            Ada sebuah cerita dari sejumlah mahasiswa yang berasal dari keluarga miskin terancam tidak bisa kuliah di sebuah Universitas di Jawa Timur, karena tidak memiliki biaya daftar ulang. Ahmad Ainun Nadjib dan Hermawan Bagus yang lolos seleksi nasional mahasiswa perguruan tinggi negeri (SNMPTN) tidak bisa melakukan daftar ulang karena keterbatasan biaya.
"Saya sudah mengajukan surat permohonan untuk meminta toleransi perpanjangan waktu membayar biaya daftar ulang, namun pihak Rektorat selalu berbelit-belit," kata Ahmad Ainun Nadjib, Selasa (3/8/2010).
Calon mahasiswa Unej asal Kabupaten Banyuwangi tersebut sudah datang beberapa hari lalu ke Kabupaten Jember, bahkan terpaksa menginap di salah satu masjid karena tidak memiliki keluarga di Jember.
"Saya terpaksa tidur di masjid karena tidak memiliki saudara di sini, bahkan biaya perjalanan dari Banyuwangi ke Jember hasil iuran dari beberapa warga di Banyuwangi," paparnya.
  
Nadjib diterima di Pendidikan Ekonomi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP), sehingga harus membayar biaya daftar ulang sebesar Rp 4.325.000.
"Sehari-hari orang tua saya bekerja sebagai buruh tani, sehingga tidak mampu membayar  Rp 4.325.000 sekaligus. Saya hanya minta toleransi waktu yang lebih lama untuk membayar biaya daftar ulang," ucapnya lirih.
Ia mengaku sudah memeroses sejumlah dokumen yang diperlukan Rektorat, terkait dengan permohonan perpanjangan waktu membayar biaya daftar ulang.
"Saya sudah memproses keterangan tidak mampu dalam pembiayaan pendidikan seperti surat keterangan tidak mampu di tingkat desa, penghasilan orang tua setiap bulan dan foto rumah saya di desa," ujarnya.
Hal senada juga disampaikan Hermawan Bagus yang lolos seleksi SNMPTN di Jurusan Manajemen Fakultas Ekonomi.
"Sesuai dengan ketentuan daftar ulang, saya harus membayar sebesar Rp 4.125.000, namun keluarga saya tidak memiliki biaya sebesar itu. Saya ingin kuliah di Universitas ini," katanya.
Calon mahasiswa asal Kabupaten Jombang tersebut sudah mencoba untuk meminta perpanjangan waktu pembayaran daftar ulang.    
"Saya siap membayar biaya daftar ulang sebesar Rp 4.125.000, namun tidak sekaligus. Saya ingin menyicil biaya daftar ulang secara bertahap," tuturnya.
Ia berharap, pihak Universitas tidak menolak mahasiswa miskin yang tidak memiliki biaya daftar ulang karena semua warga negara memiliki hak yang sama untuk mendapatkan pendidikan hingga Perguruan Tinggi. Data di Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas menyebutkan sebanyak empat mahasiswa miskin yang tidak memiliki biaya terancam tidak bisa kuliah di Universitas tersebut.
            Dari kejadian tersebut, kita bisa tahu betapa nistanya Negeri ini, dengan tidak memberikan kesempatan calon mahasiswa untuk melanjutkan perjuangannya untuk bisa hidup lebih layak dan tidak membebani pemerintah dengan menambah angka pengangguran di Negeri ini. Dalam sebuah acara, sang da’i kondang yang akrab disapa Cak Nun mengatakan  ”Allah SWT mengajarkan hubungan ’suami-istri’ antara diri-Nya dengan manusia. Suami itu memberi fasilitas, baru memberikan perintah ini-itu. Kalau kita mau seperti itu, Insya-Allah akan ada perubahan, jangan menunggu Allah yang mengubah”. Dan disambungnya dengan opini  “Kalau punya moral itu tidak hanya narik pajak dengan aturan-aturan hukum yang ada, tapi justru mengutamakan fasilitas, baru narik pajak,”.[6]
            Kita dapat mengambil pernyataan, kalau pemerintah mau mengatasi pengangguran dimasa depan, jangan menuntut calon-calon pakar ilmuan kita dengan biaya yang tidak sesuai dengan kemampuannya, tetapi berilah fasilitas kepada para intelek kita dengan fasilitas yang mewadai, agar bisa membantu mengatasi pengangguran di Negeri ini dengan kemampuannya sesuai bidang-bidangnya sendiri.

Aspek Nasionalisme dalam Ekonomi

            “Kemiskinan adalah salah satu masalah mendasar yang menjadi pusat perhatian pemerintah negara manapun, karena salah satu tugas pemerintah adalah menyejahterakan masyarakat,” ujar Kepala BPS Rusman Heriawan dalam penjelasan hasil Sensus Nasional yang dirilis baru-baru ini, berbarengan dengan ulang tahun RI ke-65. Beliau mengakui jumlah penduduk miskin di Indonesia pada Maret 2010 memang telah berkurang 1,51 juta orang menjadi 31,02 juta orang (13,33 persen) dibandingkan dengan Maret 2009 sebanyak 32,53 juta orang. Namun, angka kemiskinan itu terbilang tinggi. Yang dimaksud dengan penduduk miskin adalah mereka yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan. Angka garis kemiskinan pada Maret 2010 adalah Rp211.726,- per kapita per bulan.
Ketersediaan data kemiskinan yang akurat dan tepat sasaran, menurut Beliau sangat penting digunakan untuk mengevaluasi kebijakan strategis pemerintah terhadap kemiskinan. Ini juga penting untuk membandingkan kemiskinan antar waktu dan daerah, serta menentukan target penduduk miskin dengan tujuan untuk memperbaiki kondisi mereka. Jika membandingkan antar daerah, BPS mencatat sejumlah wilayah masih menghadapi persoalan kemiskinan yang tinggi. Bahkan, angka kemiskinan yang tertinggi itu justru terjadi di wilayah dengan kekayaan sumber alam melimpah, seperti Papua dan Papua Barat. Prosentase angka kemiskinannya mencapai 34-36 persen, jauh lebih besar dibandingkan rata-rata nasional sebesar 13,33 persen.
Selain Papua, propinsi lain yang memiliki prosentase penduduk miskin tinggi adalah Maluku, Nusa Tenggara, Aceh, Bangka Belitung dan lainnya. Jumlah penduduk di propinsi-propinsi tersebut yang memang tidak sebanyak di Jawa, tetapi secara prosentase dibandingkan total penduduk di wilayah tersebut, kelompok orang miskinnya sangat tinggi.
Sumber: Sensus Nasional BPS 2010
            Negeri ini memang unik, lucu, menggelikan dan bahkan bisa membuat kita geleng-geleng, dan bergumam “Kok bisa, wilayah yang kaya, tetapi malah menjadi wilayah termiskin di Negeri yang menjunjung tinggi Pancasila dengan sila ke V.” Itulah gambaran kecil dari kegagalan sisitem di Indonesia yang kaya akan Sumber Daya Alam, tetapi miskin ekonomi. Negeri ini sangat kaya dengan sumber alam yang melimpah, sehingga menjadikan bangsa kita menjadi malas untuk berfikir kreatif, karena mudah dalam mendapatkan semuanya.
            Melangitnya harga beras di pasaran membuat ratusan warga miskin di Desa/Kecamatan Suranenggala, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, rela berdesak-desakan untuk mendapatkan beras gratis 2,5 kilogram. Akibatnya banyak orangtua dan jompo yang ikut mengantre, terjepit di antara ratusan warga lainnya yang antusias berebut mendapat beras. Tidak hanya orangtua, sejumlah anak-anak juga terlihat berdesakan di antara antrean. Pihak panitia sebenarnya sudah menyediakan 500 kupon untuk dibagikan kepada warga miskin dan yatim piatu. Namun, banyaknya warga yang datang membuat panitia terpaksa menyediakan beras gratis lebih banyak agar seluruh warga yang datang mendapat beras gratis.
            Menurut salah satu panitia yang bernama Wagiman “ Pembagian beras dilakukan untuk membantu meringankan warga yang kesulitan membeli beras karena harga bahan pokok tersebut melonjak. Saat ini harga beras di Cirebon sudah mencapai Rp 7.000,00 per kilogrammnya. Karena kondisi ini memberatkan bagi warga miskin untuk memenuhi kebutuhan makan sehari-hari.
             Warga miskin rela mengantri berjam-jam dan berdesak-desakan untuk mendaptkan bahan pokok demi menyambung hidupnya, sedangkan pejabat-pejabat enak-enakan menikmati uang rakyat untuk kepentingan pribadi, untuk fasilitas hidupnya, bahkan menuntut fasilitas yang tidak sedikit, semuanya mewah dan mahal sebelum mereka membuktikan hasil kerjanya terlebih dahulu, memalukan bukan. Itulah fenomena bangsa ini.
Seberapa kejam, politik di Indonesia terhadap Nasionalisme bangsa?
            Direktur Lingkar Madani untuk Indonesia atau LIMA Ahmad Fauzi-biasa disapa Ray Rangkuti-menyebut, peluang Sri Mulyani maju sebagai capres pada 2014 terbilang besar. “Dia kalau diadu, peluang dia lebih besar,” ujar Ray Rangkuti di gedung DPR RI, Jakarta, Jumat (1/10/2010). Menurut Ray Rangkuti, Sri Mulyani dianggap seksi dibanding sejumlah kandidat presiden yang santer diberitakan berbagai media massa. Aburizal Bakrie, Ketua Umum Partai Golkar, dan Anas Urbaningrum yang memimpin Partai Demokrat dianggap tidak menarik. “Lawan-lawan ini menurut saya tidak menarik,” ungkapnya.
Alasan lain yang mengerek Sri Mulyani dinilai punya kelebihan adalah terkait kompetensi dan personifikasi diri yang telah dipertontonkan selama menjadi anggota kabinet Indonesia Bersatu jilid satu dan dua. “Dalam konteks personifikasi, Sri Mulyani layak dijual,” katanya. Namun sayang, langkah Sri Mulyani akan terecoki atas skandal Bank Century. Skandal Bank Century menjadi batu sandungan terbesar Sri Mulyani. “Kasus Bank Century yang enggak tuntas bisa dijadikan bahan jualan,” katanya seraya menyebut, sebutan antek-antek neoliberalisme juga akan berembus kencang ketika Sri Mulyani masuk bursa capres.
“Maka dari itu, bursa capres 2014 akan liar,” kata Ahmad Fauzi.
Demi jabatan yang diperebutkan, mereka rela mengusir bahkan melenyapkan pesaig-pesaingnya dan tidak memikirkan bagaimana keadaan rakyat yang masih sangat membutuhkan orang-orang kompeten dan cerdas. Negeri ini banyak memberikan orang-orang kompeten kepada Negara lain, dan lebih suka mengembangkan orang-orang yang standar kebawah, karena mereka lebih mudah untuk diatur dan tidak banyak menentang. Karena orang-orang yang berkompeten aka mengancam ketenangan mereka, sehingga dihilangkan terlebih dahulu sebelum mengusik semuanya.



Pengaruh Globalisasi Terhadap Nilai-Nilai Nasionalisme
Globalisasi adalah suatu proses tatanan masyarakat yang mendunia dan tidak mengenal batas wilayah.
Globalisasi pada hakikatnya adalah suatu proses dari gagasan yang dimunculkan, kemudian ditawarkan untuk diikuti oleh bangsa lain yang akhirnya sampai pada suatu titik kesepakatan bersama dan menjadi pedoman bersama bagi bangsa- bangsa di seluruh dunia.[7]
Pengaruh positif globalisasi terhadap nilai- nilai nasionalisme
            Gobalisasi mempunyai pengaruh terhadap erkembangan suatu bangsa, pengruh positif dari globalisasi itu sendiri, yaitu:
1.      Dilihat dari globalisasi politik, pemerintahan dijalankan secara terbuka dan demokratis. Karena pemerintahan adalah bagian dari suatu negara, jika pemerintahan djalankan secara jujur, bersih dan dinamis tentunya akan mendapat tanggapan positif dari rakyat. Tanggapan positif tersebut berupa rasa nasionalisme terhadap negara menjadi meningkat.
2.      Dari aspek globalisasi ekonomi, terbukanya pasar internasional, meningkatkan kesempatan kerja dan meningkatkan devisa negara. Dengan adanya hal tersebut akan meningkatkan kehidupan ekonomi bangsa yang menunjang kehidupan nasional bangsa.
3.      Dari globalisasi sosial budaya kita dapat meniru pola berpikir yang baik seperti etos kerja yang tinggi dan disiplin dan Iptek dari bangsa lain yang sudah maju untuk meningkatkan kemajuan bangsa yang pada akhirnya memajukan bangsa dan akan mempertebal rasa nasionalisme kita terhadap bangsa.
Pengaruh negatif globalisasi terhadap nilai- nilai nasionalisme
            Globalisasi juga mempunyai pengaruh yang negatif terhadap beberapa aspek dalam suatu bangsa, yaitu: 
1.      Globalisasi mampu meyakinkan masyarakat Indonesia bahwa liberalisme dapat membawa kemajuan dan kemakmuran. Sehingga tidak menutup kemungkinan berubah arah dari ideologi Pancasila ke ideologi liberalisme. Jika hal tesebut terjadi akibatnya rasa nasionalisme bangsa akan hilang
2.      Dari globalisasi aspek ekonomi, hilangnya rasa cinta terhadap produk dalam negeri karena banyaknya produk luar negeri (seperti Mc Donald, Coca Cola, Pizza Hut,dll.) membanjiri di Indonesia. Dengan hilangnya rasa cinta terhadap produk dalam negeri menunjukan gejala berkurangnya rasa nasionalisme masyarakat kita terhadap bangsa Indonesia.
3.      Mayarakat kita khususnya anak muda banyak yang lupa akan identitas diri sebagai bangsa Indonesia, karena gaya hidupnya cenderung meniru budaya barat yang oleh masyarakat dunia dianggap sebagai kiblat.
4.      Mengakibatkan adanya kesenjangan sosial yang tajam antara yang kaya dan miskin, karena adanya persaingan bebas dalam globalisasi ekonomi. Hal tersebut dapat menimbulkan pertentangan antara yang kaya dan miskin yang dapat mengganggu kehidupan nasional bangsa.
5.      Munculnya sikap individualisme yang menimbulkan ketidakpedulian antarperilaku sesama warga. Dengan adanya individualisme maka orang tidak akan peduli dengan kehidupan bangsa.
Antisipasi Pengaruh Negatif Globalisasi Terhadap Nilai Nasionalisme
Langkah- langkah untuk mengantisipasi dampak negatif globalisasi terhadap nilai- nilai nasionalisme antara lain yaitu :
1.      Menumbuhkan semangat nasionalisme yang tangguh, misal semangat mencintai produk dalam negeri.
2.      Menanamkan dan mengamalkan nilai- nilai Pancasila dengan sebaik- baiknya.
3.      Menanamkan dan melaksanakan ajaran agama dengan sebaik- baiknya.
4.      Mewujudkan supremasi hukum, menerapkan dan menegakkan hukum dalam arti sebenar- benarnya dan seadil- adilnya.
5.      Selektif terhadap pengaruh globalisasi di bidang politik, ideologi, ekonomi, sosial budaya bangsa.
Dengan adanya langkah- langkah antisipasi tersebut diharapkan mampu menangkis pengaruh globalisasi yang dapat mengubah nilai nasionalisme terhadap bangsa. Sehingga kita tidak akan kehilangan kepribadian bangsa.





KESIMPULAN

Nasionalisme di Negeri ini masih sangat rendah dan masih sangat membutuhkan perhatian dari seluruh warga di Negara ini. Dari segi aspek, mulai dari budaya, ekonomi, pendidikan, dan politik perlu untuk diperbaiki lagi system yang sudah ada, Negeri ini sangat menbutuhkan generasi-generasi yang berani tampil beda dan berani membusungkan dadanya bersama bangsa untuk memperjuangkan bangsa dan Negara.
Aspek kebudayaan sangat penting untuk diketahui lebih detil oleh generasi-generasi muda untuk mencintai, menjaga dan melestarikannya. Negeri yang kaya akan budaya, kalau tidak dijaga dan dilestarikan budayanya, sedikit demi sedikit budaya itu akan hilang, entah itu diakui oleh Negeri lain  atau luntur kebudayaannya.
 Aspek ekonomi di Negeri ini juga masih sangat tertinggal, karena lebih banyak yang berprinsip “saya harus bisa mendapatkan semuanya dari Negeri ini, daripada saya harus memberikan semua yang saya bisa untuk Negeri ini untuk memajukan Negara ini”. Negeri ini rindu dengan pejuang-pejuang tanpa pamrih, Negeri ini sangat membutuhkan generasi muda yang berani beruang demi bangsa dan Negara, Negeri ini juga membutuhkan jiwa-jiwa yang nasioalisme.
Sistem pendidikan di Negeri ini perlu diperbaharui lagi untuk menuntaskan kemiskinan yang sangat membutuhkan para cendekia untuk membangun Negara menuju kebahagiaan, ketentraman, kenyamanan dan keindahan yang dibangun bersama rasa nasionalisme yang tinggi. Bangsa ini sangat memprihatinkan di dunia pendidikannya, masih banyak yang belum mengenyam bangku pendidikan, kebijakan-kebijakan yang diberikan oleh pemerintah banyak yang masih disalah gunakan oleh pihak-pihak yan tidak bertanggung jawab. Pedidikan tidak menjadi wahana yang menyenangkan bagi generasi sekarang, tetapi wahan yang menakutkan dan menjerumuskan.
Profesionalitas sangat penting dan dibutuhkan untuk menjunjung tinggi keindahan dan kenyamanan berpolitik, politik di Negeri ini sangat menakutkan, tidak ada rasa kekeluargaan yang membuat rasa nasionalisme ini semakin luntur, semuanya ingin menang, tetapi tidak amu menerima kekalahan dalam demokrasi. Rasa nasionalisme di Negeri ini sangat pentin untuk menjunjung tiggi nilai demokrai yand ada.



[1] Nurcholis madjid (2004. Indonesia kita)
[2] K@barNet di/pada 28/08/2010
[3] Suara rakyat Indonesia
[5] Tempat bercampur atau bertemunya berbagai macam hal
[6] K@barNet di/pada 28/08/2010
[7] Menurut Edison A. Jamli dkk.Kewarganegaraan.2005

Tidak ada komentar:

Posting Komentar