Selasa, 25 Januari 2011


SEJARAH PERKEMBANGAN TASAWUF

A. Pengertian Tasawuf
                Kata tasawuf diambil dari kata shafa yang berarti bersih [1].Dinamakan shufi karena hatinya tulus dan bersih di hadapan Tuhannya [2]. Teori lain mengatakan bahwa kata tersebut diambil dari kata Shuffah yang berarti serambi Masjid Nabawi di Madinah yang ditempati oleh sahabat-sahabat Nabi yang miskin dari golongan Muhajirin. Mereka disebut ahl as-shuffah yang sungguh sangat miskin namun berhati mulia dan memang sifat tidak mementingkan kepentingan dunia dan berhati mulia adalah sifat-sifat kaum sufi/ teori lainnya menegaskan bahwa kata sufi diambil dari kata suf yaitu kain yang dibuat dari bulu atau wool, dan kaum sufi memilih memakai wool yang kasar sebagai simbol kesederhanaan.
                Tasawuf sebagaimana disebutkan dalam artinya di atas bertujuan untuk memperoleh hubungan langsung dan disadari dengan Tuhan, sehingga disadari benar bahwa seseorang berada di hadirat Tuhan, dan intisari dari sufisme itu adalah kesadaran akan adanya komunikasi dan dialog antara roh manusia dan Tuhan dengan cara mengasingkan diri dan berkontemplasi. Kesadaran berada dekat dengan Tuhan itu dapat mengambil bentuk ijtihad atau menyatu dengan Tuhan.
                Ibn Al-Khaldun menulis, “Ilmu ini (yakni tasawuf) salah satu ilmu syariat baru di dalam agama Islam. Sebenarnya, metode kaum ini (kaum sufi) telah ada sejak masa para sahabat, tabiin dan ulama-ulama penerusnya, sebagai jalan kebenaran dan petunjuk. Inti tasawuf adalah tekun beribadah, memutuskan hubungan dari selain Allah, menjauhi kemewahan dan kegemerlapan duniawi, meninggalkan kelezatan harta dan tahta yang sering dikejar kebanyakan manusia dan mengasingkan diri dari manusia untuk beribadah. Praktek ini populer di kalangan para sahabat dan ulama terdahulu. Ketika tren mengejar dunia menyebar di abad kedua dan setelahnya, manusia mulai tenggelam dalam kenikmatan duniawi, orang-orang yang menghususkan diri mereka kepada ibadah disebut sufi.[3]” Tasawuf sendiri berkembang yang bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT dengan kesederhanaan dan selalu mendahulukan urusan-urusan akhirat.
               





Asal usul atau sejarah tasawuf

                Banyak pendapat yang mengatakan bahwa tasawuf berasal dari luar yang masuk ke dalam Islam. Sebagian penulis misalnya ada yang berpendapat bahwa tasawuf berasal dari kebiasaan rahib-rahib Kristen yang menjauhi dunia dan kesenangan material. Ada pula yang mengatakan bahwa tasawuf timbul atas pengaruh ajaran Hindu dan disebutkan pula bahwa ajaran tasawuf berasal dari filsafat Phytagoras dengan ajaran-ajarannya yang meninggalkan kehidupan material dan memasuki kehidupan kontemplasi. Dikatakan pula bahwa tasawuf masuk ke dalam Islam karena pengaruh filsafat Plotinus. Disebutkan bahwa menurut filsafat emanasi Plotinus bahwa roh memancar dari zat Tuhan dan kemudian akan kembali kepada-Nya. Tetapi dengan masuknya roh ke alam materi, ia menjadi kotor, dan untuk dapat kembali ke tempat Yang Maha Suci, terlebih dahulu ia harus disucikan. Tuhan Maha Suci dan Yang Maha Suci tidak dapat didekati kecuali oleh yang suci, dan pensucian roh ini terjadi dengan meninggalkan hidup kematerian, dan dengan mendekatkan diri kepada Tuhan sedekat mungkin dan kalau bisa hendaknya bersatu dengan Tuhan semasih berada dalam hidup ini.
                Namun demikian, terlepas atau tidak adanya pengaruh dari luar itu, yang jelas bahwa dalam sumber ajaran Islam, Al-Qur’an dan hadits terdapat ajaran yang dapat membawa kepada timbulnya tasawuf. Paham bahwa Tuhan dekat dengan manusia, yang merupakan ajaran dalam mistisisme ternyata ada di dalam Al-Qur’an dan hadits.
Ayat 186 Surat Al-Baqarah misalnya menyatakan :
وَاِذَى سَاَلكَ عِبَادِى عَنِّيْ فَاِنـّيْ قَرِ يْبٌ اُجِيْبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ اِذَادَعَانِ
Artinya :
Jika hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang diri-Ku. Aku adalah dekat. Aku mengabulkan seruan orang memanggil jika ia panggil Aku” (QS. Al-Baqarah : 186)
Kata دعا yang terdapat dalam ayat di atas oleh sufi diartikan bukan berdoa dalam arti yang lazim dipakai, melainkan dengan arti berseru atau memanggil. Tuhan mereka panggil dan Tuhan memperhatikan diri-Nya kepada mereka.
Ayat 115 juga Surat Al-Baqarah juga menyatakan :
وَلله المْشْرِقُ وَالمغَرِبُ فَايَنْمَاَتوَ لوُّا فَثمَّ وَجْهُ الله
Timur dan Barat kepunyaan Allah, maka kemana saja kamu berpaling di situ (kamu jumpai) wajah Tuhan”.
Bagi kaum sufi ayat ini mengandung arti bahwa di mana saja Tuhan ada dan dapat dijumpai.
Selanjutnya dalam hadits dinyatakan :
مَنْ عَرَ فَ نـَفْسَهُ فَقَدْ عَرَف َالله
Siapa yang kenal pada dirinya, pasti kenal kepada Tuhan”
Hadits lain juga mempunyai pengaruh kepada timbulnya paham tasawuf adalah hadits qudsi yang artinya :
Aku pada mulanya adalah harta yang tersembunyi, kemudian Aku ingin kenal, maka Kuciptakanlah makhluk dan mereka pun kenal pada-Ku melalui diri-Ku
Menurut hadits ini, bahwa Tuhan dapat dikenal melalui makhluk-Nya, dan pengetahuan yang lebih tinggi ialah mengetahui Tuhan melalui diri-Nya.
                Tahanuts yang dilakukan Nabi Muhammad Saw di Gua Hira merupakan cahaya pertama dan utama bagi nur tasawuf, karena itulah benih pertama bagi kehidupan rohaniah. Di dalam mengingat Allah serta memuja-Nya di Gua Hira, putuslah ingatan dan tali rasa beliau dengan segala makhluk lainnya. Di situ pula berawalnya Nabi Muhammad mendapat hidayah, membersihkan diri dan mensucikan jiwa dari noda-noda penyakit yang menghinggapi sukma, bahkan sewaktu itu pulalah berpuncaknya kebesaran, kesempurnaan, dan kemuliaan jiwa Muhammad Saw. dan membedakan beliau dari kebiasaan hidup manusia biasa.
                Fakta sejarah menunjukkan bahwa selama hayatnya, segenap peri kehidupan beliau menjadi tumpuan masyarakat, karena segala sifat terpuji terhimpun pada dirinya, bahkan beliau merupakan lautan budi yang tidak pernah kering airnya kendatipun diminum oleh semua makhluk yang memerlukan air. Amal ibadah beliau tiada tara bandingannya. Dalam sehari semalam Rasulullah minimal membaca istighfar minimal 70 kali, shalat fardhu, rawatib serta shalat dhuha yang tidak kurang dari delapan rakaat setiap hari. Shalat tahajjud beliau tidak lebih dari sebelas rakaat, dan lama sujudnya sama dengan lamanya sahabat membaca lima puluh ayat. Shalat beliau yang khusuk dan tuma’ninah amat sempurna. Dalam berdoa, perasaan khauf dan raja’ selalu dinampakkan Rasulullah dengan tangis dan sedu sedannya.
                Pola hidup dan kehidupan Rasulullah yang sangat ideal itu menjadi suri tauladan bagi para sahabatnya, baik bagi sahabat dekat maupun sahabat yang jauh. Tumpuan perhatian mereka senantiasa ditujukan untuk mengetahui segala sifat, sikap dan tindakan Rasulullah, sehingga para sahabat tersebut dapat pula memantulkan cahaya yang mereka terima kepada orang yang ada di sekitarnya dan generasi selanjutnya. Amalan tasawuf sebagaimana dipraktekkan oleh Rasulullah itu juga diikuti oleh para sahabatnya. Abu Bakar Ash-Shiddieq misalnya, pernah hidup dengan sehelai kain saja.  Dalam beribadat kepada Allah Swt. karena khusu dan tawadhu’nya sampai dari mulutnya tercium bau limpanya, karena terbakar oleh rasa takut kepada Allah. Pada malam hari ia beribadat dengan membaca Al-Qur’an sepanjang malam.
                Umar bin Khattab dikenal dengan keadilan dan amanahnya yang luar biasa. Ia pernah berpidato di hadapan orang banyak, sedangkan di dalam pakaiannya terdapat dua belas tambalan dan dia tidak memiliki kain yang lainnya. Usman bin Affan dikenal sebagai orang yang tekun beribadah dan pemalu, dan meskipun ia juga dikenal sebagai seorang sahabat yang tekun mencari rezeki, tetapi iapun terkenal sebagai pemurah, sehingga tidak sedikit kekayaannya digunakan untuk menolong perjuangan Islam. Sahabat selanjutnya adalah Ali bin Abi Thalib yang tidak peduli terhadap pakaiannya yang robek dan menjahitnya sendiri. Beberapa tokoh besar dalam sufi adalah : Rabi’ah al-Adawiyah, Zunnun al-Misri, Abu Yazid al-Bustami, Husein bin Mansur al-Hajjaj, dan Al-Ghazali.
                Paham tasawuf merupakam paham yang sudah berkembang sebelum Nabi Muhammad menjadi Rasulullah. Dan orang-orang Islam baru di daerah Irak dan Iran (sekitar abad 8 Masehi) yang sebelumnya merupakan orang-orang yang memeluk agama non Islam atau menganut paham-paham tertentu. Meski sudah masuk Islam, hidupnya tetap memelihara kesahajaan dan menjauhkan diri dari kemewahan dan kesenangan keduniaan. Hal ini didorong oleh kesungguhannya untuk mengamalkan ajarannya, yaitu dalam hidupannya sangat berendah-rendah diri dan berhina-hina diri terhadap Tuhan. Mereka selalu mengenakan pakaian yang pada waktu itu termasuk pakaian yang sangat sederhana, yaitu pakaian dari kulit domba yang masih berbulu, sampai akhirnya dikenal sebagai semacam tanda bagi penganut-penganut paham tersebut. Itulah sebabnya maka pahamnya kemudian disebut PAHAM SUFI, SUFISME atau PAHAM TASAWUF, dan orangnya disebut ORANG SUFI[6].paham tasawuf ini terjadi diperoleh dri orang orang sebelum nabi muhammad  yang hidup dalam ksederhanaan.
Perkembangan Tasawuf
      A. Abad I dan II Hijriyah
   Fase abad pertama dan kedua Hijriyah belum bisa sepenuhnya disebut sebagai fase tasawuf tapi lebih tepat disebut sebagai fase kezuhudan. Adapun ciri tasawuf pada fase ini adalah sebagai berikut: 
1. Bercorak praktis ( amaliyah )
Tasawuf pada fase ini lebih bersifat amaliah dari pada bersifat pemikiran. Bentuk amaliah itu seperti memperbanyak ibadah, menyedikitkan makan minum, menyedikitkan tidur dan lain sebagainya. Amaliah ini menjadi lebih intensif terutama pasca terbunuhnya sahabat Utsman. Para sahabat Nabi s.a.w digambarkan oleh Allah s.w.t sebagai orang yang ahli rukuk dan sujud,

مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ تَرَاهُمْ رُكَّعاً سُجَّداً يَبْتَغُونَ فَضْلاً مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَاناً سِيمَاهُمْ فِي وُجُوهِهِمْ مِنْ أَثَرِ السُّجُودِ ذَلِكَ مَثَلُهُمْ فِي التَّوْرَاةِ وَمَثَلُهُمْ فِي الْأِنْجِيلِ كَزَرْعٍ أَخْرَجَ شَطْأَهُ فَآزَرَهُ فَاسْتَغْلَظَ فَاسْتَوَى عَلَى سُوقِهِ يُعْجِبُ الزُّرَّاعَ لِيَغِيظَ بِهِمُ الْكُفَّارَ وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ مِنْهُمْ مَغْفِرَةً وَأَجْراً عَظِيماً (29)
"Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. Kamu lihat mereka ruku’ dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh di antara mereka ampunan dan pahala yang besar." ( al-Fath: 29 )
Abd al-Hakim Hassan, abad pertama hijriyah terdapat dua corak kehidupan spiritual. Pertama, kehidupan spiritual sebelum terbunuhnya Utsman dan kedua, kehidupan spiritual pasca terbunuhnya Utsman. Kehidupan spiritual yang pertama adalah Islam murni, sementara yang kedua adalah produk persentuhan dengan lingkungan, akan tetapi secara prinsipil masih tetap bersandar pada dasar kehidupan spiritual Islam pertama.
                Peristiwa terbunuhnya khalifah Utsman merupakan pukulan tersendiri terhadap perasaan kaum muslimin. Betapa tidak, Utsman adalah termasuk kelompok pertama orang-orang yang memeluk Islam ( al- Sabiqun al-Awwalun ), salah seorang yang dijanjikan masuk surga, orang yang dengan gigih mengorbankan hartanya untuk perjuangan Islam dan orang yang mengawini dua putri Nabi. Peristiwa Utsman mendorong munculnya kelompok yang tidak ingin terlibat dalam pertikaian politik memilih tinggal di rumah untuk menghindari fitnah serta konsentrasi untuk beribadah. Sehingga al-Jakhid salah seorang yang berkonsentrasi dalam ibadah yang juga salah seorang santri Ibn Mas’ud berkata, “Aku bersyukur kepada Allah sebab aku tidak terlibat dalam pembunuhan Utsman dan aku shalat sebanyak seratus rakaat dan ketika terjadi perang Jamal dan Shiffin aku bersyukur kepada Allah dan aku menambahi shalat dua ratus rakaat demikian juga aku menambahi masing-masing seratus rakaat ketika aku tidak ikut hadir dalam peristiwa Nahrawan dan fitnah Ibn Zubair”.
2. Bercorak kezuhudan
                Tasawuf pada pase pertama dan kedua hijriyah lebih tepat disebut sebagai kezuhudan. Kesederhanaan kehidupan Nabi diklaim sebagai panutan jalan para zahid. Banyak ucapan dan tindakan Nabi s..a.w. yang mencerminkan kehidupan zuhud dan kesederhanaan baik dari segi pakaian maupun makanan, meskipun sebenarnya makanan yang enak dan pakaian yang bagus dapat dipenuhi. Dan secara logikapun tidak masuk akal seandaikata Nabi s..a.w yang menganjurkan untuk hidup zuhud sementara dirinya sendiri tidak melakukannya.
                Kezuhudan para sahabat Nabi s.a.w digambarkan oleh Hasan al-Bashri salah seorang tokoh zuhud pada abad kedua Hijriyah sebagai berikut, ”Aku pernah menjumpai suatu kaum ( sahabat Nabi ) yang lebih zuhud terhadap barang yang halal dari pada zuhud kamu terhadap barang yang haram”.
                Pada masa ini, juga terdapat fenomena kezuhudan yang cukup menonjol yang dilakukan oleh sekelompok sahabat Rasul s.a.w yang di sebut dengan ahl al- Shuffah. Mereka tinggal di emperan masjid Nabawi di Madinah. Nabi sendiri sangat menyayangi mereka dan bergaul bersama mereka. Pekerjaan mereka hanya jihad dan tekun beribadah di masjid, seperti belajar, memahami dan membaca al-Qur`an, berdzikir, berdoa dan lain sebagainya. Allah s.w.t. sendiri juga memerintahkan Nabi untuk bergaul bersama mereka,

وَلا تَطْرُدِ الَّذِينَ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ بِالْغَدَاةِ وَالْعَشِيِّ يُرِيدُونَ وَجْهَهُ مَا عَلَيْكَ مِنْ حِسَابِهِمْ مِنْ شَيْءٍ وَمَا مِنْ حِسَابِكَ عَلَيْهِمْ مِنْ شَيْءٍ فَتَطْرُدَهُمْ فَتَكُونَ مِنَ الظَّالِمِينَ (52)
Dan janganlah kamu mengusir orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan petang hari, sedang mereka menghendaki keridhaanNya. Kamu tidak memikul tanggung jawab sedikitpun terhadap perbuatan mereka dan merekapun tidak memikul tanggung jawab sedikitpun terhadap perbuatanmu, yang menyebabkan kamu (berhak) mengusir mereka, (sehingga kamu termasuk orang-orang yang zalim). ( al-An’am : 52 )
                Kelompok ini dikemudian hari dijadikan sebagai tipe dan panutan para shufi. Dengan anggapan mereka adalah para sahabat Rasul s.a.w. dan kehidupan mereka adalah corak Islam. Di antara mereka adalah Abu Dzar al-Ghifari yang sering disebut sebagai seorang sosial sejati dan sekaligus sebagai prototip fakir sejati, si miskin yang tidak memiliki apapun tapi sepenuhnya dimiliki Tuhan, menikmati hartaNYA yang abadi, Salman al-Faritsi, seorang tukang cukur yang dibawa ke keluarga Nabi dan menjadi contoh adopsi rohani dan pembaiatan mistik yang kerohaniannya kemudian dianggap sebagai unsur menentukan dalam sejarah tasawuf Parsi dan dalam pemikiran Syiah, Abu Hurairah, salah seorang perawi Hadits yang sangat terkenal adalah ketua kelompok ini, Muadz Ibn Jabal, Abd Allah Ibn Mas’ud, Abd Allah ibn umar, Khudzaifah ibn al-Yaman, Anas ibn Malik, Bilal ibn Rabah, Ammar ibn Yasar, Shuhaib al-Rumy, Ibn Ummu Maktum dan Khibab ibn al-Arut.
                Menurut Abd al-Hakim Hassan corak kehidupan spiritual Ahl al-Shuffah sebenarnya bukan karena dorongan ajaran Islam, akan tetapi corak itu didorong oleh keadaan ekonomi yang kurang menguntungkan, sehingga mereka tinggal di masjid. Keadaan itu nampak dari anjuran Rasul Allah kepada sebagian sahabat yang berkecukupan agar memberikan makan kepada mereka. Dan mereka ( para sahabat ) yang secara ekonomi berkecukupan dan tidak melakukan sebagaimana ahl al-Shuffah pun juga menjadi panutan bagi orang-orang bijak.
3. Kezuhudan didorong rasa khauf
                Khauf sebagai rasa takut akan siksaan Allah s.w.t sangat menguasai sahabat Nabi s.a.w dan orang-orang shalih pada abad pertama dan kedua Hijriyah. Informasi al-Qur`an dan Nabi tentang keadaan kehidupan akhirat benar-benar diyakini dan mempengaruhi perasaan dan pikiran mereka. Rasa khauf menjadi semakin intensif terutama pada pemerintahan Umayah pasca jaman kekhilafahan yang empat. Pada masa pemerintahan Umayah, khauf tidak hanya sebatas sebagai rasa takut terhadap kedasyatan dan kengerian tentang kehidupan diakhirat akan tetapi khauf juga berarti kekhawatiran yang mendalam apakah pengabdian kepada Allah bakal diterima atau tidak. Pada masa ini pula, khauf menjadi sebuah pendekatan untuk mengajak orang lain pada kebenaran dan kebaikan. Pendekatan indzar ( menakut-nakuti ) lebih dominan dari pada pendekatan tabsyir (memberi kabar gembira ).
                Semangat kelompok keagamaan pada masa ini adalah penyebaran rasa takut kepada Allah, kritik terhadap kehidupan yang melenceng jauh dari nilai-nilai keagamaan pada masa Nabi dan dua khalifah sesudahnya dan memperbanyak ibadah. Tokoh utama keagamaan pada masa ini adalah Hasan al-Bashri. Bahkan para asketis – yang nantinya disebut sebagai para shufi – mengidentikkan pemerintah dengan kejahatan.
4. Sikap zuhud dan rasa khauf berakar dari nash ( dalil Agama )
                Al-Qur`an dan al-Hadits memberikan informasi tentang kebenaran sejati hidup dan kehidupan. Keduanya memberikan gambaran tentang perbandingan antara kehidupan dunia dan kehidupan akhirat. Keduanya memberikan informasi tentang kengerian kehidupan akhirat bagi orang-orang yang mengabaikan huum-hukum Allah. Selanjutnya orang – orang mukmin benar-benar meyakini informasi itu. Dan keyakinan itu melahirkan rasa khauf. Rasa khauf selanjutnya memunculkan sikap zuhud yaitu sikap menilai rendah terhadap dunia dan menilai tinggi terhadap akhirat. Dunia dijadikan sebagai alat dan lahan ( mazraah ) untuk mencapai kebahagian abadi dan sejati yaitu akhirat.
5. Sikap zuhud untuk meningkatkan moral
                Cinta dunia telah membuat saling bunuh dan saling fitnah antar sesama. Cinta dunia melahirkan ketidaksalehan ritual, personal maupun sosial. Itulah sebabnya Hasan al-Bashri sebagai salah seorang zahid dalam mengajak baik masyarakat maupun pemerintah ( para pemimpin kerajaan Umayah ) selalu mengajak untuk bersikap zuhud sebagaimana sikap ini menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan sahabat Nabi yang setia.
6. Sikap zuhud didukung kondisi sosial-politik
                Meski sikap zuhud tanpa adanya keadan sosial politik tertentu masih tetap eksis lantaran al-Qur`an dan perilaku serta perkataan Nabi s..a.w mendorong untuk bersikap zuhud, namun keadaan sosial politik yang kacau turut menyuburkan tumbuhnya sikap zuhud. Selama abad pertama dan kedua hijriyah terutama setelah sepeninggal Rasul s.a.w terdapat dua sistem pemerintahan , yaitu sistem pemerintahan kekhalifahan (khilafah nubuwah) dan sistem pemerintahan kerajaan ( mulk ).Pemerintahan pertama berlangsung selama tiga puluh tahun sesudah Nabi Muhammad s.a.w yaitu sejak permulaan kekhalifahan Abu Bakar hingga Ali bin Abi thalib tepatnya dari tahun 11 H/ 632 M. sampai dengan tahun 40 H./661 H. Mereka adalah para pengganti Nabi yang berpetunjuk ( al-khulafa` al-Rasidun ). Sistem pemerintahan yang pertama ini mekanisme penggantiannya melalui pemilihan. Pemerintahan kedua sejak pemerintahan dinasti Umayyah tepatnya sejak tahun 41 H./661 M. Dan pemerintahan kedua ini mekanisme pengangkatan pemimpin tertinggi melalui petunjuk atau wasiat penguasa berdasarkan pertalian darah.
                Pemerintahan kekhalifahan, dalam pandangan banyak orang muslim, suatu bentuk kesalihan dan rasa tanggungjawab yang sangat dalam, sedangkan dinasti umayyah pada umumnya hanya tertarik pada kekuasaan itu sendiri. Kecaman yang sering ditujukan pada dinasti Umayyah adalah dinasti ini tidak menerapkan kebijakan untuk membuat asas Islam sebagai dasar bagi keputusan – keputusan administratif, oleh karenanya dinasti Umayyah lebih menomorsatukan politik dan menomorduakan agama. Mereka pada umumnya dianggapmenghamba duniawi dan kurang beriman.
                Menurut Abd al-Hakim Hassan, abad pertama hijriyah terdapat dua corak kehidupan spiritual. Pertama, kehidupan spiritual sebelum terbunuhnya Utsman dan kedua, kehidupan spiritual pasca terbunuhnya Utsman. Kehidupan spiritual yang pertama adalah Islam murni, sementara yang kedua adalah produk persentuhan dengan lingkungan, akan tetapi secara prinsipil masih tetap bersandar pada dasar kehidupan spiritual Islam pertama.
a. Fase Sebelum Terbunuhnya Khalifah Utsman
                Kehidupan spititual Islam sebelum terbunuhnya Utsman terhitung sejak masa Rasul s.a.w dan masa dua khalîfah sesudahnya yaitu khalîfah Abu Bakar dan Umar. Kehidupan spiritual pada masa ini termasuk Islam murni. Ciri utamanya adalah amal untuk merealisasikan dua kebahagiaan dunia dan akhirat. Sebagian besar sahabat Rasul s.a.w. tidak mengalahkan akhirat untuk dunia atau sebaliknya.
                Pada masa ini, terdapat fenomena kehidupan spiritual yang cukup menonjol yang dilakukan oleh sekelompok sahabat Rasul s.a.w yang di sebut dengan ahl al- Shuffah. Mereka tinggal di emperan masjid nabawi di Madinah. Nabi sendiri sangat menyayangi mereka dan bergaul bersama mereka. Pekerjaan mereka hanya jihad dan tekun beribadah di masjid seperti belajar, memahami dan membaca al-Qur`an, berdzikir, berdoa dan lain sebagainya.
                Kelompok ini dikemudian hari dijadikan sebagai tipe dan panutan para shufi. Dengan anggapan mereka adalah para sahabat Rasul s.a.w. dan kehidupan mereka adalah corak Islam. Di antara mereka adalah Abu Dzar al-Ghifari yang sering disebut sebagai seorang sosial sejati dan sekaligus sebagai prototip fakir sejati, si miskin yang tidak memiliki apapun tapi sepenuhnya dimiliki Tuhan, menikmati hartaNYA yang abadi, Salman al-Fartsi, seorang tukang cukur yang dibawa ke keluarga Nabi dan menjadi contoh adopsi rohani dan pembaiatan mistik yang kerohaniannya kemudian dianggap sebagai unsur menentukan dalam sejarah tasawuf Parsi dan dalam pemikiran Syiah, Abu Hurairah, salah seorang perawi hadits yang sangat terkenal adalah ketua kelompok ini, Muadz Ibn Jabal, Abd Allah Ibn Mas’ud, Abd Allah ibn umar, Khudzaifah ibn al-Yaman, Anas ibn Malik, Bilal ibn Rabah, Ammar ibn Yasar, Shuhaib al-Rumy, Ibn Ummu Maktum dan Khibab ibn al-Arut.
                Menurut Abd al-Hakim Hassan corak kehidupan spiritual Ahl al-Shuffah sebenarnya bukan karena dorongan ajaran Islam, akan tetapi corak itu didorong oleh keadaan ekonomi yang kurang menguntungkan, sehingga mereka tinggal di masjid. Keadaan itu nampak dari anjuran Rasul Allah kepada sebagian sahabat yang berkecukupan agar memberikan makan kepada mereka. Dan mereka ( para sahabat ) yang secara ekonomi berkecukupan dan tidak melakukan sebagaimana ahl al-Shuffah pun juga menjadi panutan bagi orang-orang bijak.
                Kesederhanaan kehidupan Nabi juga diklaim sebagai panutan jalan para shufi. Banyak ucapan dan tindakan Rasul s.a.w. yang mencerminkan kehidupan zuhud dan kesederhanaan baik dari segi pakaian ataupun makanan, meskipun makanan yang enak dan pakaian yang bagus dapat dipenuhi. Hal itu berlangsung hingga ahir hayat Rasul Allah. Dan secara logikapun tidak masuk akal seandaikata Rasul s.a.w. yang menganjurkan untuk hidup zuhud dan sederhana sementara dirinya sendiri tidak melakukannya.
b. Fase Pasca Terbunuhnya Khalifah Utsman
                Pasca terbunuhnya khalifah Utsman, kehidupan spiritual mengalami perubahan dibandingkan dengan masa sebelumnya. Peristiwa terbunuhnya khalifah Utsman merupakan pukulan tersendiri terhadap perasaan kaum muslimin. Betapa tidak, Utsman adalah termasuk kelompok pertama orang-orang yang memeluk Islam ( al- Sabiqin al-Awwalin ), salah seorang yang dijanjikan masuk surga, dan orang yang mengawini dua putri Nabi.
                Peristiwa Utsman mendorong munculnya kelompok yang tidak ingin terlibat dalam pertikaian politik memilih tinggal di rumah untuk menghindari fitnah serta konsentrasi untuk beribadah. Sehingga al-Jakhid salah seorang yang berkonsentrasi dalam ibadah yang juga salah seorang santri Ibn Mas’ud berkata, “Aku bersyukur kepada Allah sebab aku tidak terlibat dalam pembunuhan Utsman dan aku shalat sebanyak seratus rakaat dan ketika terjadi perang Jamal dan Shiffin aku bersyukur kepada Allah dan aku menambahi shalat dua ratus rakaat demikian juga aku menambahi masing-masing seratus rakaat ketika aku tidak ikut hadir dalam peristiwa Nahrawan dan fitnah Ibn Zubair”.
                Dengan demikian pada masa ini mempunyai corak baru dalam kehidupan keagamaan kaum muslimin. Fenomena keagamaan itu ditandai dengan munculnya para juru cerita ( al-Qashshas ) baik di masjid-masjid ataupun di tempat khalayak ramai dan para qurra` yaitu mereka yamg membaca al-Qur,an dengan menangis. Markas utama para qurra itu ada di Bashra.
                Kehidupan spiritual pada fase ahir abad kedua mempunyai ciri tersendiri. Konsep zuhud yang semula berpaling dari kesenangan dan kemewahan dunia berubah menjadi pembersihan jiwa, pensucian hati dan pemurnian kepada Allah. Latihan-latihan diri ( al-riyâdlah ) sangat menonjol pada fase ini seperti menyepi ( khalwah ), bepergian (siyâhah ), puasa ( al-shwm ) dan menyedikitkan makan ( qillah al-tha’âm ) bahkan sebagaian mereka tinggal di gua-gua. Menurut Ibn Khaldun, orang yang mengkonsentrasikan beribadah pada fase ini mendapatkan julukan al-Shufiyah atau al-Mutashawwifah.
                Tema sentral zuhud pada fase ini adalah tawakal dan ridlâ. Konsep tawakal dan ridlâ yang terdapat dalam al-Qur`ân itu yang oleh para asketis sebelumnya dalam arti etis berubah menjadi madzhab yang sangat ektrim. Itulah pada fase ini banyak kalangan asketis ( zâhid ) melakukan perjalanan masuk ke hutan dengan bertawakal tanpa bekal apapun dan mereka rela terhadap karunia apa saja yang mereka terima.
                Tokoh terkenal madzhab tawakal adalah Ibrahim bin Adham ( w. 161 H. / 790 M. ). Ia meninggalkan kehidupan kebangsawanan di Balkh ibu kota kaum Budish tempat ia dilahirkan. Perkembangan doktrin tawakal ini pada perkembangannya mengarah kepada konsep sentral shufi tentang hubungan manusia dan Tuhan, konsep ganda tentang cinta dan rahmat melebur dalam suatu perasaan.
                Kehidupan spiritual pada fase ini terpengaruh oleh pengaruh-pengaruh luar. Cerita Malik ibn Dinar banyak diriwayatkan dari al-Masih, Taurat dan pendeta. Kehidupan Ibrâhim ibn Adham menyerupai kehidupan Sidarta Gautama, seorang peletak agama Budha. Adalah hal biasa seorang abid kontak dengan para pendeta ( râhib )[16] . Mereka saling tukar pengalaman mengenai kebijaksanaan ( al-hikmah, wisdom ) dan cara-cara mujahadah. Itulah sebabnya fase abad kedua hijriyah ini terutama pasca Hasan al- Bashri dapat disebut sebagai fase transisi dari zuhud, yang puncaknya pada Hasan al-Bashri menuju tasawuf yang dimulai sejak Râbiah al-Adawiyah. Fase ini juga kadang disebut dengan fase kelompok para penangis ( al – Bukkâ’un ).
B. Fase Abad III dan IV Hijriyah
                Apabila abad pertama dan kedua Hijriyyah disebut fase asketisisme ( kezuhudan ), maka abad ketiga dan keempat disebut sebagai fase tasawuf. Praktisi kerohanian yang pada masa sebelumnya digelari dengan berbagai sebutan seperti zahid, abid, nasik, qari` dan sebagainya, pada permulaan abad ketiga hijriyah mendapat sebutan shufi. Hal itu dikarenakan tujuan utama kegiatan ruhani mereka tidak semata – mata kebahagian akhirat yang ditandai dengan pencapaian pahala dan penghindaran siksa, akan tetapi untuk menikmati hubungan langsung dengan Tuhan yang didasari dengan cinta. Cinta Tuhan membawa konsekuensi pada kondisi tenggelam dan mabuk kedalam yang dicintai ( fana fi al-mahbub ). Kondisi ini tentu akan mendorong ke persatuan dengan yang dicintai ( al-ittihad ). Di sini telah terjadi perbedaan tujuan ibadah orang-orang syariat dan ahli hakikat.
                Pada fase ini muncul istilah fana`, ittihad dan hulul. Fana adalah suatu kondisi dimana seorang shufi kehilangan kesadaran terhadap hal-hal fisik ( al-hissiyat). Ittihad adalah kondisi dimana seorang shufi merasa bersatu dengan Allah sehingga masing-masing bisa memanggil dengan kata aku ( ana ). Hulul adalah masuknya Allah kedalam tubuh manusia yang dipilih.
                Di antara tokoh pada fase ini adalah Abu yazid al-Busthami (w.263 H.) dengan konsep ittihadnya, Abu al-Mughits al-Husain Abu Manshur al-Hallaj ( 244 – 309 H. ) yang lebih dikenal dengan al-Hallaj dengan ajaran hululnya. al-Hallaj dilahirkan di Persia dan dewasa di Iraq Tengah. Dia meghadapi empat tuduhan yang ahirnya membawanya dieksekusi di tiang salib. Empat tuduhan yang dituduhkan kepadanya adalah,
1.       Hubungannya dengan kelompok al-Qaramithah
2.       Ucapannya ” أنا الحقّ ( saya adalah tuhan yang maha benar)
3.       Keyakinan para pengikutnya tentang ketuhanannya
4.       Pendapatnya bahwa menunaikan ibadah haji tidak wajib
Tokoh lainnya adalah Dzunnun al-Mishri ( w. 245 H.) yang dikenal dengan pencetus ma’rifat. Dia pernah belajar ilmu Kimia dari Jabir bin Hayyan. Dia juga dianggap orang yang berbicara pertama kali tentang maqamat dan ahwal di Mesir., al-Hakim al-Tirmidzi (w. 320 H. ) dengan konsep kewalian, Abu Bakar al-Sibli ( w.334 H.)
C. Fase Abad V Hihriyah
                Fase ini disebut sebagai fase konsolidasi yakni memperkuat tasawuf dengan dasarnya yang asli yaitu al-Qur`an dan al-Hadits atau yang sering disebut dengan tasawuf sunny yakni tasawuf yang sesuai dengan tradisi (sunnah) Nabi dan para sahabatnya. Fase ini sebenarnya merupakan reaksi terhadap fase sebelumnya dimana tasawuf sudah mulai melenceng dari koridor syariah atau tradisi ( sunnah ) Nabi dan sahabatnya. Tokoh tasawuf pada fase ini adalah Abu Hamid al-Ghazali (w.505 H) atau yang lebih dikenal dengan al-Ghzali. Ia dilahirkan di Thus Khurasan. Ia hidup dalam lingkungan pemikiran maupun madzhap yang sangat hitorigen. al-Ghazali dikenal sebagai pemuka madzhab kasyf dalam makrifat. Tentang kesunnian al-Ghazali dikomentari oleh muridnya Abdul Ghafir al-Faritsi,”Ahirnya al-Ghazali berkonsentrasi pada hadits Nabi al-Mushthofa dan berkumpul bersama-sama ahli Hadits dan mempelajari kitab Shahih al-Bukhari dan Shahih al-Muslim[18] Dia menerima tasawuf dari kelompok persia menuju tasawuf suuni. Itulah sebabnya ia banyak menyerang filsafat Yunani dan menunjukkan kelemahan-kelemahan aliran batiniyyah. Di antara buku karangannya adalah Tahafut al-Falasifah, al-Munqidz Min al-Dlalal dan Ihya` Ulum al-Din.
                Tokoh lainnya adalah Abu al-Qasim Abd al-Karim bin Hawazin Bin Abd al-Malik Bin Thalhah al-Qusyairi atau yang lebih dikenal dengan al-Qusyairi ( 471 H.) , al-Qusyairi menulis al-Risalah al-Qusyairiyah terdiri dari dua jilid.
D. Fase Abad VI Hijriyah
                Fase ini ditandai dengan munculnya tasawuf falsafi yakni tasawuf yang memadukan antara rasa ( dzauq ) dan rasio ( akal ), tasawuf bercampur dengan filsafat terutama filsafat Yunani. Pengalaman – pengalaman yang diklaim sebagai persatuan antara Tuhan dan hamba kemudian diteorisasikan dalam bentuk pemikiran seperti konsep wahdah al-wujud yakni bahwa wujud yang sebenarnya adalah Allah sedangkan selain Allah hanya gambar yang bisa hilang dan sekedar sangkaan dan khayali.
                Tokoh –tokoh pada fase ini adalah Muhyiddin Ibn Arabi atau yang lebih dikenal dengan Ibnu Arabi ( 560 – 638 H.) dengan konsep wahdah al-Wujudnya. Ibnu Arabi yang dilahirkan pada tahun 560 H. dikenal dengan sebutan as-Syaikh al-Akbar (Syekh Besar). Di masa mudanya, ia pernah menjadi sekretaris hakim tingkat wilayah. Sakit keras yang pernah dialami mengubah sikap hidup yang sangat drastis. Dia menjadi seorang zahid dan abid. Dia menghabiskan waktunya di beberapa kota di Andalusia dan di Afrika Utara untuk bertemu para guru shufi. Umur tiga puluh tahun pindah ke Tunis kemudia ke Fas. Disini, Ibnu Arabi menulis buku berjudul al-Isra Ila Maqam al-Asra (الإسراء إلى مقام الأسرى ). Kemudian pergi ke Kairo dan al-Quds yang kemudian diteruskan ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji. Ibnu Arabi beberapa tahun tinggal di Mekkah dan disinilah ia menyusun kitab Taj al-Rasail (تاج الرسائل) dan Ruh al-Quds (روح القدس) dan pada tahun 598 H. Mulai menulis kitab yang sangat terkenal al-Futuhat al-Makkiyyah (الفتوحات المكية). Ahirnya Ibnu Arabi tinggal di Damaskus dan menulis kitab Fushush al-Hikam (فصوص الحِكَم ). Ibnu Arabi meninggal pada tahun 638 H.
                Tokoh lainnya adalah al-Syuhrawardi (549 – 587 H.) dengan konsep Isyraqiyahnya. Ia dihukum bunuh dengan tuduhan telah melakukan kekufuran dan kezindikan pada masa pemerintahan Shalahuddin al-Ayubi. Diantara kitabnya adalah Hikmat al-Israq. Tokoh berikutnya adalah Ibnu Sab’in (667 H.) dan Ibn al-Faridl (632 H.)
                Pada abad VI juga ditandai dengan munculnya tariqat yakni madrasah shufi yang bertujuan membimbing calon shufi menuju pengalaman ilahi melalui teknik dzikir tertentu. Oleh sebagian orang dikatakan bahwa munculnya taiqat adalah untuk membantu orang-orang –awam agar ikut mencicipi tasawuf karena selama ini pengalaman tasawuf hanya dialami oleh orang-orang tertentu saja ( khawash). Disamping itu kehadiran thariqat juga untuk memagari tasawuf agar senantiasa berada dalam koridor syariat. Itulah sebabnya sistem thariqat sangat ketat.


[1] Al-Kalabadzi, al-Ta’arruf li Madzhab ahl al-Tashawuf (al-Maktabah al-Kulliyat al-Azhariyyah, Cairo, 1969) h. 28
[2] Ibrahim Basuni, Nasy’ah al-Tashawuf al-Islami, Juz III (Dar al-Maarif, Mesir, 1119), h. 9
[3] kajian islam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar